Mohon tunggu...
Flutterdust
Flutterdust Mohon Tunggu... Mahasiswa - Muhammad Fa'iq Rusydi - Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Kecil Bergerak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Emha Ainun Nadjib dan KiaiKanjeng: Refleksi Keberadaan Walisongo di Masa Silam

23 Maret 2022   05:13 Diperbarui: 23 Maret 2022   05:23 1212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emha Ainun Nadjib dan KiaiKanjeng dalam HUT ke-1268 Kota Salatiga di Alun-alun Pancasila Kota Salatiga, Jum'at (13/7/2018). Sumber Foto: Caknun.com

Hal tersebut dapat dilihat dan didengar dari respon tiap individu yang melihat secara langsung atau mendengar dari jauh sosok Emha Ainun Nadjib, misal ada yang menghormatinya dengan menyanjung kebaikanya, ada yang membencinya dengan mencela ngajinya, ada yang mencintainya dengan mencium tangan dan memeluknya, sampai ada yang tidak tahu rupanya tapi kenal namanya "Oh.. KiaiKanjeng ya?". 

Bagi sebuah kelompok, Mbah Nun itu menguntungkan dan merugikan, atau bisa juga tidak kedua-duanya tergantung dari tujuan dan latar belakang kelompok tersebut.

Kelompok bisa terdiri dari sebuah kerumunan, komunitas atau organisasi. Bagi siapa Mbah Nun tidak menguntungkan? Setidaknya, minimal secara normatif bisa dilihat dari kerumunan, komunitas atau organisasi yang bertolak belakang dengan substansi kegiatan, tujuan sekaligus pemikiranya. 

Bila dilihat respon orang-orang yang ikut dalam acara sinau bareng, ternyata amat beragam dan menarik. Umumnya kegiatan sinau bareng dilaksanakan rutinan tiap satu bulan sekali dalam sebuah 'forum' seperti PadangMbulan di Jombang, Mocopat Syafaat di Jogja, BangBangWetan di Surabaya, Kenduri Cinta di Jakarta dan Gambang Syafaat di Semarang (tidak bersamaan, kehadiran Mbah Nun pun kadang bergilir, kegiatan bisa berjalan tanpa kehadiranya), di samping undangan-undangan acara dari negeri sampai swasta, dari tingkat dusun sampai tingkat internasional.

Mbah Nun dan KiaiKanjeng bisa dan mau menembus semua lapis kelompok masyarakat dan dapat diterima dengan baik. Keberadaan keduanya dalam sinau bareng juga sering mendampingi dan menyemangati mereka yang terjerat masalah dunia. 

Pernah suatu ketika Cak Nun menggelar acara Maiyahan yang digelar di 4 wilayah Kalbar. "Maiyahan membela orang Madura yang akan dibunuh di Kalimatan." Bisa dibayangkan bagaimana rasanya berada di zona konflik seperti itu. Apalagi salah satu personil KiaiKanjeng saat itu masih keturunan asli Madura. Sedang orang Kalimantan bisa mendeteksi siapa saja yang masih membawa darah Madura. Ini juga salah satu contoh peran dan perjuangan KiaiKanjeng dalam penampilannya, Rahmatal Lil` Alamin. Merangkul semua pihak dan kelompok.

Kegiatan sinau bareng lebih banyak hadir di masyarakat dusun, desa dan kota. Lebih interaktif, berbaur dengan masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun tak jarang di sela-selanya masyarakat kelas menengah ke atas juga hadir, karena tertarik dengan kegiatan sinau bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Hal ini mengingatkan pada keberadaan Walisongo di masa silam. 

Di daerah Jawa Tengah, utamanya daerah Jawa Timur, mestinya tidak asing dengan istilah Walisongo. Sedangkan di Jawa Barat, Saya kaget ketika teman Saya di Jawa Barat tidak tahu dan tidak mau tahu siapa dan apa itu Walisongo. Setidaknya dalam kurun tahun 2000an ini, fenomena pandangan tentang Walisongo fiktif itu ada. Lambat laun Saya mengerti, ada beberapa kondisi sejarah dan budaya di daerah kita yang berbeda, juga kondisi sosialnya.

Seperti yang dikatakan Kama dalam (Ilmu Sosial dan Budaya Dasar 2009, 140), Saya juga melihat adanya bentuk ketidakpercayaan terhadap keberadaan Walisongo dikarenakan informasi baru yang dihasilkan (yang dapat mengubah keyakinan, sikap dan nilai), yang mana hal tersebut sangat tergantung pada faktor sebagai berikut :

  1. Bagaimana informasi itu diperkenalkan (proses input)
  2. Oleh siapa informasi itu disampaikan (hal ini berhubungan dengan kredibilitas si pembawa informasi)
  3. Dalam kondisi yang bagaimana informasi itu disampaikan atau diterima
  4. Sejauh mana tingkat disonasi kognitif yang terjadi akibat informasi baru tersebut (yaitu tingkat dan sifat konflik yang terjadi dengan keyakinan yang telah ada)
  5. Level penerimaan individu yaitu motivasi individu untuk berubah
  6. Level kesiapan individu untuk menerima informasi baru serta mengubah tingkah lakunya (tahap kematangan individu serta kekayaan pengalaman masa lalunya).

Entah sejak kapan dan siapa yang pertama kali mencuatkan bahwa Walisongo itu fiktif atau rekayasa belaka, perlu dilacak lebih jauh sekaligus ditinjau kembali pendapat tersebut, ditakutkan pendapat tersebut menjadi informasi 'bohong' yang mempengaruhi disonansi kognitif khalayak umum sehingga mereka pun mulai kabur dan hilang dari akar rumput sejarah bangsa dan wilayahnya sendiri. Lantas bagaimana Emha Ainun Nadjib dan KiaiKanjeng bisa merefleksikan keberadaan Walisongo?  

Refleksi Keberadaan Walisongo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun