Mohon tunggu...
Fluoresensi 77
Fluoresensi 77 Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

simple | Pendidik | Pengajar Les Matematika, Fisika, Kimia | Hobby Menulis | Dreaming| Hiking| travelling | Swimming\r\n \r\n\r\nKunjungi juga: http://fluoresensi.wordpress.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hidup Kedua

26 Juni 2013   22:09 Diperbarui: 13 Juli 2015   11:14 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selembar kertas itu mengisahkanku. Memvonisku. Di sana tertulis Exhaustion depression, ya itu penyakitku. Itu membuatku menjauh dari semua mimpi-mimpiku, teman-temanku, keluargaku dan lelakiku.

Entah bagaimana caranya, aku berada di sini. Di daerah yang menyuguhkan pemandangan luar biasa; Pulau Maratua kalimantan Timur. Seperti hidup kedua, setelah membutuhkan waktu yang cukup lama hingga aku menyadarinya. Ketika aku bersama orang-orang disekelilingku yang jelas-jelas tak ada pertalian darah. Mereka baik. Mereka juga sayangpadaku. Dan entah bagaimana aku bisa sembuh dari penyakit jiwa itu.

Di sini aku belajar semuanya; mengaji, menyelam, memancing, memasak, menjadi guide dan mengajar. Di sini aku merasa lebih berarti, dari semua yang pernah ada sebelumnya. Mereka menerimaku, sebuah keluarga kecil dan sederhana. Aku berada di sebuah kehidupan yang belum pernah ada dari semua yang pernah ada. Aku terus berlari dari masa laluku yang perih dan menyesakan dada.

Sampai kapan aku berada di sini? Aku rindu keluargaku, terutama ibuku. Aku ingin membawa keluragaku kesini. Apakah ada penerimaan lagi, dulu aku kabur tepat sehari setelah wisuda?

***

Hotel bintang 5, aku bekerja paruh waktu ketika liburan musim sekolah tiba. Ada yang tak biasa di penghujung akhir tahun ini. Ya...kerinduan yang mendalam tentang ibuku. Ibuku yang setia menemaniku dan mendukungku apapun asal baik. Tak ada yang peduli denganku kecuali ibuku. Ibu, yang selalu setia apapun dan bagaimanapun.

Diantara turis-turis asing yang sengaja bermalam dan berlibur di Maratua, ku temukan sesosok laki-laki yang berasal dari pulau Jawa. Dia guide baru di tempat wisata ini.

Aku membersihkan meja-meja bundar yang dipadu dengan keelokan sisi pantai maratua.

“Orang sunda ya?”

“Bukan!” Jawabku.

“Kamu mirip teman saya di kampus dulu.” Dia dengan logat pulau sebrangnya.

“Oh ya? Berarti muka saya pasaran donk?” Tanyaku.

“Emhhh.....mungkin. Nama kamu siapa?”

“Panggil saya, Capela.”

“Oh...bagus namanya.”

“terima kasih.”

“Ya sudah, saya kembali kerja dulu. Selamat bekerja ya.” Ucapnya dan pergi meninggalkan senyuman termanis yang mungkin pernahku lihat (di kehidupan pertama).

***

Dua minggu berlalu, aktivitas sekolah mulai hidup lagi. Aku guru Fisika sekaligus Matematika. Aku berpredikat guru yang rajin di sekolah menengah pertama ini, sekaligus aku mendapat gelar guru favorit. Mungkin karena aku sering sekali mengunjungi rumah murid-muridku dan ku ajak bermain sambil belajar di sisi dermaga.

Kembali lagi, ada yang beda di pagi ini. Ya...tiba-tiba datang lelaki yang pernah setengah berkenalan denganku di hotel bintang lima itu, ketika aku bekerja paruh waktu. Lelaki tanpa nama, oleh karena itu aku menyebutnya setengah berkenalan.

“Selamat pagi, Bu Capela.” Ucapnya menyebut lengkap namaku.

“Selamat pagi. Oh...bapak mau mendaftarkan anak bapak ke sini?”

“Oh...nggak. saya guru baru di sini. Guru IPA. Mohon bantuannya di sekolah ini.”

“Selamat datang pak di sekolah ini. Insya Allah di sini muridnya bisa diatur dengan pendekatan yang berbeda-beda.”

Dari CV yang aku bawa menuju ruang administrasi sekolah, pengalaman mengajarnya begitu luar biasa. (Sepertinya) aku pernah mengenalnya di kehidupan pertama.

***

Aku mulai bangkit dari semua yang pernah aku tinggalkan, dengan mengenalnya. Aku memberanikan diri untuk pulang ke keluargaku di tanah Jawa. Semoga aku masih diterima. Aku akan mengajak mereka ke surga duniaku di Maratua; tempat aku hidup kedua.

Jadi, pernahkah anda ingin lari dari semua yang pernah ada dan menuju sebuah dunia yang tak ada satupun dari semua yang pernah ada? Aku pernah, mencari kedamaian jiwa.

***

Sebuah fiksi belaka

Di sudut titik kejemuanku

28 Januari 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun