(Warning : Artikel ini mengandung umpatan-umpatan untuk penggambaran akurat mood penulis.)
Saat membaca tulisan dari Pak Bobby Steven MSF tentang petugas TNI dan Polri etnis Tionghoa di Indonesia, sembari membubuhi tanggapan personal dan mengikuti comment-comment masukan lainnya, saya sampai pada sebuah comment yang saya anggap kesannya rasis dan dibumbui oleh statement yang tidak pantas dipakai di Indonesia, karena kentalnya unsur segregasi yang disampaikan. Ini quotenya,
Semoga di masa mendatang pemerintah sudah memperbolehkan etnis Tionghoa mengisi jajaran pemerintahan, hanya memang perlu dibatasi, contohnya:
"Etnis Tionghoa bisa mengisi jajaran aparat pemerintahan (menjadi ASN atau polisi), tetapi hanya maksimal sebatas 30% dari total jumlah keseluruhan aparat pemerintahan.
Coba lihat Singapura, kebanyakan pejabatnya adalah orang China, sedangkan sebenarnya Singapura itu penduduk aslinya adalah orang Melayu.
Coba lihat juga Amerika Serikat, di mana penduduk pribuminya adalah orang Indian, tetapi saat ini orang Indian sudah tersingkir dan berganti dengan orang Inggris.
Tanpa adanya pembatasan/perlindungan terhadap pribumi seperti ini, maka bisa saja etnis yang lebih unggul akan menggantikan penduduk pribumi yang ada jika kalah bersaing dengan etnis asing. Oleh karena itu, bagaimanapun pembatasan itu wajib ada untuk melindungi penduduk pribumi dan kedaulatan penduduk pribumi terhadap tanah airnya sendiri.
Kesan alienasi kental terasa di situ. Saya hanya bisa ngelus-elus dada sambil berteriak di pikiran saya, "What the f**k is wrong with this guy ?" Saya tidak mencoba menjadi SJW, tapi yang satu ini kembali mengingatkan saya bahwa rasisme di Indonesia masih dan akan terus ada seiring dengan kentalnya fanatisme dan maraknya penggunaaan isu SARA di Indonesia, baik yang secara terselubung maupun yang terbuka.
Kata "Pribumi" sebenarnya sudah dilarang penggunaannya di Indonesia, bahkan ada UU dan Inpres yang melarang penggunaannya. Hanya saja, banyak masyarakat tanpa sadar masih menggunakan konotasi tersebut. Bahkan Anies Baswedan menggunakan kata ini saat pidato inaugurasi silam, sebuah pelanggaran Undang - Undang yang blatant dilakukan di hari dia dilantik. Sungguh keji jika memang niatannya berlandaskan SARA yang dimanfaatkan untuk mendongkrak kepopulerannya.
Tidak harus jauh untuk membuka luka lama rasisme di Indonesia, contohnya saja di 2017 lalu yang menyangkut Pak Ahok. Saya menyertakan sebuah tweet dari Pak Nusron Wahid yang sempat mendapat sorotan sebagai respon dari tweet AA Gym.
Ini fakta atau utopi? Kalau fakta jgn marah dong. Ketahuan berbuat ditunjukin kok marah...... pic.twitter.com/J55wuirm3S--- Nusron Wahid (@NusronWahid1) April 10, 2017
It's bad, but I didn't realize it's THIS bad. Borok ini sudah lama ada, namun masih basah dan belum bisa sembuh. Mari kita tilik banyaknya sejarah bangsa ini menzalimi rakyatnya sendiri.