Banyak orang bertanya-tanya mengapa saya  berani resign dari institusi yang masih menjadi favorit banyak orang setelah 14 tahun kerja. Padahal umur masih 42, karir saya normal (bagus banget sih tidak, pun tidak jelek), posisi saya mengharuskan saya ke luar negeri beberapa kali setahun, dan gaji Rp. 40 juta/bulan belum termasuk THR, uang cuti, dkk.
Tentu ada berbagai alasan di balik sebuah keputusan besar. Apalagi jika dilihat dari penghasilan gede, bikin orang keder untuk melepasnya. Meski demikian, saya melihat pegawai-pegawai yang lebih muda sekarang banyak yang berani mengambil keputusan untuk keluar dari tempat kerja jika dirasa jenis pekerjaan atau iklim kerja tidak sesuai dengan passionnya, terutama gen Y. Sepertinya mereka lebih menikmati hidup, tidak melihat sebuah pekerjaan karena institusinya bergengsi atau uang yang besar, misalnya.Â
Mareka hidup dan besar di era teknologi informasi dan di mana konsep sharing economy tumbuh. Mereka bisa bekerja di mana saja dan dari mana saja, yang penting hasilnya. Tidak perlu punya mobil untuk bisa diantar sopir kemana-mana. Yang punya mobil juga senang bisa berbagi mobil dengan memanfaatkan mobilnya untuk bisnis taksi online, misalnya.Â
Ini bukan hanya tentang uang, tapi kemanfaatan yang lebih tinggi atas aset. Yang saya salut pada generasi milenial adalah banyak diantara mereka yang jadi sociopreneur. Lihat saja kitabisa.com yg bisa menghimpun banyak dana kemanusiaan ato gojek yg bisa membantu ratusan ribu orang untuk punya pekerjaan sebagai tukang ojek dan membantu UMKM dengan gofood-nya.
Berbeda dengan saya, yang untuk keluar dari zona nyaman sebagai pegawai perlu persiapan jauh-jauh hari, menghitung dulu apakah aset saya cukup untuk kebutuhan jangka panjang, risiko kehilangan berbagai fasilitas dari kantor seperti kesehatan, menginap di hotel dan jalan-jalan ke luar negeri (meskipun dalam rangka pekerjaan), dan status sosial. Yang terakhir paling berat, karena pandangan keluarga dan masyarakat yang sampai saat ini mengukur kesuksesan lebih banyak pada jabatan, Â tempat bekerja, atau kekayaan.
Ada 3 alasan mengapa saya mrmutuskan pensiun di usia 40-an. Pertama, pensiun muda adalah cita-cita saya. Ketika saya masih menjalani pendidikan calon pegawai di lembaga terakhir saya bekerja, saya sudah bermimpi bahwa saya akan keluar pada usia 40 tahun. Tujuan saya bekerja saat itu adalah untuk memperoleh beasiswa S2 dan mengumpulkan modal untuk menjadi investor. Saya waktu itu begitu termotivasi dengan buku Robert Kiyosaki untuk berpindah kuadran dari karyawan menjadi investor. Dua-duanya sudah tercapai.
Bukan hanya tentang sekolah, yang terpenting adalah pendidikan di rumah tentang pembiasaan mandiri, belajar, dan membantu pekerjaan rumah. Ketika membaca buku The Ultimate U - nya Renee Suhardono dua tahun lalu, saya mengevaluasi kembali apa tujuan hidup saya. Tersebutlah bahwa saya ingin dekat dengan anak-anak, dengan banyak memberikan contoh melalui tindakan, dan bekerja dari rumah.
Ketiga, saya ingin menikmati kebahagiaan diri-sendiri. Tuntutan pekerjaan dan juga perhatian untuk keluarga menyebabkan minimnya waktu untuk diri sendiri. Hal-hal di luar pekerjaan seperti hobi, olahraga, kegiatan sosial dapat membuat hidup kita lebih hidup. Masih banyak hal yang ingin saya pelajari dan kerjakan. Ekonomi syariah, bahasa arab, memasak, menulis, ada diantara yang menjadi obsesi saya.
Sebuah penelitian (saya membaca dari bukunya Desi Anwar) menyatakan bahwa sampai pada jumlah tertentu, tambahan uang tidak akan menambah kebahagiaan seseorang. Itu terjadi pada saya. Bukannya tidak bersyukur atas setiap kenaikan gaji dan tambahan berbagai insentif yang saya terima, tapi the law of diminishing marginal utility atau diminishing returns itu terjadi. Jadilah saya mengajukan pensiun dini, demi mengejar mimpi baru saya, kebahagiaan.
Bagaimana persiapan pensiun muda? Tunggu di seri pensiun muda selanjutnya.