Tradisi futu abas terdiri dari dua kata futu (ikat) dan abas (benang). Dua kata ini berasal dari bahasa suku Welaun Mohac Leohitu, Balibo yang berarti "ikat benang". Namun, jika diterjemahkan berdasarkan pemaknaan kata menjadi "menyatukan laki-laki, perempuan, Tuhan dan leluhur dalam bahasa welaun  "Ametis isit feto-mane, itan Maromak no bei kala".Â
Tradisi futu abas itu sendiri tidak terlepas dari sejarah nenek moyang suku mohac leohitu yang pada zaman dahulu meyakini bahwa untuk menyatukan dua insan dalam membangun rumah tangga harus dengan mengikatkan benang putih pada tangan laki-laki dan perempuan.
Benang yang diikat pada tangan laki-laki dan perempuan melambangkan makna kehadiran Tuhan dan leluhur secara alami serta menghindari hambatan pada saat persalinan.
Tradisi futu abas sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan orang-orang leohitu. Benang putih yang diikat bukan sembarang benang melainkan dari kapas yang di panen pada musim kemarau, dijemur, dipisahkan dari bijinya dan diolah dengan alat tradisional menjadi benang.
Kapas, tumbuhan yang kita kenal dengan nama ilmiah "Gossypium" putih bersih, terdiri dari serat-serat halus tergabung menjadi satu gumpalan. Bagi orang-orang leohitu kapas melambangkan kebersihan, kehalusan yang sejatinya ringan, serat tipis yang digabungkan menjadi benang yang kuat untuk merangkul alam, sesama dan sang Pencipta.
Suku mohac leohitu mengibaratkan hidup manusia bagaikan kapas lemah, tak berdaya jika tanpa adanya tuntunan dari Tuhan dan leluhur. Warna putih melambangkan kebersihan, kesucian dan kepolosan dua insan yang memutuskan untuk hidup bersama.
Tradisi futu abas diadakan pada saat kandungan memasuki usia 7 bulan. Acara futu abas diwajibkan bagi perempuan suku mohac leohitu saat mengandung anak pertama agar bayi mendapatkan perlindungan dari Tuhan dan leluhur. Benang yang diikat terdiri dari 14 lilitan, 7 untuk laki-laki, 7 untuk perempuan dan 7 kelu (gelang perak) diikat pada "ai saradak" (ranting kusambi) yang sudah ditusuk dengan telinga kambing dan disematkan dengan "kakaut bau berek" (ranting dedurian).
Tua adat akan menghempaskan "ai saradak" pada laki-laki dan perempuan sebanyak 7 kali diikuti dengan menginjakkan kaki pada 3 buah logam yang sudah diletakkan di tanah lalu ditendang ke belakang yang menandakan bahwa tubuh laki-laki dan perempuan sudah dibersihkan dari segala kekuatan negatif.
Siri pinang menyimbolkan relasi intim yang hakiki tak terpisahkan antara Tuhan, alam, leluhur dan manusia. Â Tua adat membuat tanda salib pada dahi, dada, tangan dan kaki sebagai simbol bahwa keduanya sudah siap melangkah pada tahap kehidupan yang baru dan mempersiapkan diri dengan baik sambil menantikan kelahiran sang buah hati mereka.