Malam itu menjadi malam yang tidak pernah terhapus dari ingatan saya. Segala harapan yang awalnya menyala, perlahan meredup menjadi duka yang membekas. Hari itu, tanggal 21 Januari 2025, menjadi awal tahun yang kelabu bagi keluarga kami.
Saya masih ingat jelas bagaimana awalnya hari itu berjalan biasa saja. Dalam perjalanan pulang dari tugas liputan, saya sempat mampir di sebuah warung makan di Kota Larantuka.Â
Saat menikmati hidangan sederhana, tiba-tiba ponsel saya berdering. Di layar, tertera nama adik bungsu saya. Dengan nada tergesa, ia berkata, "Abang, Bapa mau dirujuk ke Larantuka."
Saya terdiam sejenak, bingung dan tak percaya. "Dirujuk? Kenapa?" tanya saya dalam hati. Sepengetahuan saya, Bapak tidak pernah mengeluh sakit sebelumnya.Â
Bahkan, pada 16 Januari lalu, saat saya mengunjunginya di kampung, beliau tampak sehat-sehat saja.
Saya segera meninggalkan warung itu dan pulang ke rumah untuk menyampaikan kabar tersebut kepada istri saya. Dengan cepat, kami bersiap dan menuju rumah sakit, penuh harap bahwa semua akan baik-baik saja. Dalam hati, saya terus meyakinkan diri bahwa Bapak pasti bisa sembuh. Namun, saat bertemu dokter, kenyataan mulai terasa lebih pahit.Â
"Bapak dirujuk dalam kondisi setengah sadar," jelas dokter.Â
Penyebabnya belum pasti, masih dalam pemeriksaan. Di ruang rawat, saya melihat Mama, adik bungsu, kakak sepupu, dan ipar saya setia berada di sisi Bapak.Â
Meski saya berusaha tenang, hati saya hancur melihat Bapak harus bertahan dengan berbagai alat medis: infus, kateter, oksigen, bahkan selang makan yang dipasang melalui hidungnya. Sesekali terdengar jeritan kecil dari Bapak, menunjukkan rasa sakit yang tak mampu ia tahan.