Teriakan itu sebatas Euphoria
Oleh: Vera florentieka
Pertengahan tahun 2012 lalu, saya berhasil diterima sebagai “mahasiswa” di Salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta. Seperti yang kita tahu, sebelum kita dapat mengikuti perkuliahan, pasti kita harus melewati serangkaian kegitan di Universitas. Salah satunya adalah OSPEK, tidak perlu saya jelaskan lah apa itu OSPEK, pasti teman – teman pembaca sudah mengetahuinya. Saya menulis ini, hanya untuk berbagi pengalaman yang saya sebagai mahasiswa, atau mungkin saya belum pantas disebut mahasiswa?
Ingatkah kalian??...
Tidak tahu hanya di Universitas saya, atau disemua Universitas di Yogyakarta atau bahkan diseluruh Universitas di Indonesia yang terdengar teriakan – teriakan yang membangkitkan emosi dalam diri kita. Apakah kalian ingat dengan seruan/teriakan yang selalu diucapkan oleh senior – senior kalian?
“hidup mahasiswa”
“hidup mahasiswa Indonesia”
“Mahasiswa adalah Agent of Change”
“Mahasiswa adalah generasi penerus”
Jelas seruan yang mereka ucapkan itu membangkitkan emosi dalam diri kita. Semangat dan rasa bangga seketika muncul saat mendengar seruan yang mereka ucapkan. Rasa bangga karena kita dapat menjadi mahasiswa, Rasa bangga karena seorang mahasiswa merupakan agen perubahan yang kelak akan menjadi generasi penerus bangsa kita. Tapi apakah kalian tau, atas dasar apa kalian merasa bangga? Apa yang bisa kalian banggakan sebagai mahasiswa?
Kalian akan kemana??...
Setelah masa OSPEK selesai, maka kita disambut dengan kegiatan perkuliahan yang menjadi kewajiban seorang mahasiswa. Tapi apakah kita sadar? Dimana seruan – seruan itu? Seruan yang sangat popular untuk mahasiswa baru. Dimana mereka yang sering mengucapkan seruan itu? Saya merasa bingung, sebagai mahasiswa baru, saya harus kemana. Lalu untuk dapat menjadi agen perubahan, saya harus bagaimana. Bahkan menjadi generasi penerus, untuk bergerak kemana saya masih tidak paham.
Mereka yang selalu mengucapkan seruan – seruan popular itu pun, tidak memberikan arah kepada kita. Setelah OSPEK selesai, maka selesailah tanggung jawab mereka. Jadi saya menganggap kalau mereka mengucapkan seruan – seruan itu, hanyalah sebagai tanggung jawab kepanitian saja, bukan tanggung jawab mereka sebagai seorang pemuda untuk mengisi kemerdekaan kita dengan hal yang bermanfaat. Salah satunya dengan membina kami, kaum yang lebih muda untuk dapat bergerak, menjadi agen perubahan, dan bahkan akan menjadi generasi penerus seperti apa yang selalu mereka serukan pada waktu OSPEK berlangsung.
Dari fenomena yang saya alami, saya memiliki anggapan bahwa seruan – seruan yang sangat popular pada waktu OSPEK berlangsung, hanyalah sebatas Euphoria. Seruan diucapkan hanya sebatas untuk merayakan kesenangan suatu institusi pendidikan, yang dapat merekrut mahasiswa baru. Saya memang merasa semangat dan bangga ketika mendengar seruan – seruan itu, tapi hanya waktu dan jam itu saja saya merasakan hal tersebut. Lalu, apakah arti seruan – seruan tersebut? Menurut pendapat saya, apabila seruan – seruan itu hanya bersifat dramatis, dan bukan bersifat realistis buat apa diucapkan?
Jadi, untuk apa pula jika seruan itu diucapkan hanya untuk merayakan suatu kesenangan ataupun kebanggaan, bahkan mungkin seruan tersebut sudah menjadi suatu kebiasaan. Dimana wajib diucapkan sewaktu masa OSPEK berlangsung. Seruan yang seharusnya mampu dimaknai sebagai suatu tujuan, yang kelak harus dicapai oleh mahasiswa ataupun kaum muda, justru hanya dijadikan kebiasaan tahunan. Seruan itu memang diucapkan namun makna sesungguhnya tidak didapatkan, bahkan justru disalahtempatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H