"Marsudi....Marsudi. Alangkah sengsara hidupku".
"Kenapa to Mbakyu?" Tanyaku.
"Bayangkanlah....
Dua anggota keluargaku meninggal.
Mereka tersiram debu panas.
Rumahku sudah hancur, nggak berbentuk lagi. Aku tak tahu bagaimana harus memperbaikinya.
Sapi kami yang tinggal satu ekor, telah hilang dicuri orang pula.
Mbakyumu ini merasa sudah jatuh, tertimpa tangga pula....
Lebih dari itu, kini aku berada dipengungsian....
Kini kami sedang mengupayakan jalan keluarnya."
Mbakyuku itu melanjutkan kegelisahan hatinya....
"Marsudi, aku sebenarnya prihatin, kala aku mendengar, kala aku melihat, bahwa ada "penggawa negeri", pamong negeri ini yang berbicara, bertingkah polah layaknya manusia tidak terdidik. Berbicara tidak terdidik ketika menyikapi bencana negeri ini. Cobalah bayangkan, seorang doktor bisa bicara kami pengungsi ...kelenteng-kelenteng sarapan, kelenteng-kelenteng makan siang... Mbok ya malu gitu.... "
________________________________
Rasanya tenggorokanku tercekat, kesumbat, tak bisa berkata-kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H