Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Salam Kecebong" a la Kaesang

6 Juli 2017   02:37 Diperbarui: 8 Juli 2017   20:50 1865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mas Kaesang...
Saya pernah menghitung kecebong di kolam kecil. Kolam kecil itu berada di depan rumah.
Tujuh puluh dua ekor kecebong, sangat banyak.
Untuk menghitung kecebong tersebut saya membutuhkan waktu yang agak lama, sepuluh menitan. Bahkan prosesnya sedikit agak "jelimet".
Jelimet karena saya perlu memisahkan kecebong yang satu dengan kecebong yang lainnya, satu persatu di tempat yang berbeda.

Nah, mas Kaesang...
Di negara ini juga banyak "kecebong-kecebong" yang sedang beranjak besar.
Ada kecebong yang sadar ia sedang berproses menjadi katak, kodok.
Tetapi ada juga kecebong yang sudah merasa menjadi bangkong (menurut KBBI V, bangkong=katak besar).
Saya berpikir mas Kaesang,  mengapa ada kecebong yang terlalu PD (percaya diri) sudah merasa menjadi bangkong? Tetapi, mengapa ada juga  kecebong yang secara alami berproses menjadi katak?

Jawaban saya temukan sebagai berikut:
pertama, kecebong yang terlalu PD, karena kecebong itu nggak kenal alam ke-diri-annya. Ia nggak kenal diri, lingkungan, bahkan penciptanya.  
Mungkin disekolah ia tak pernah diajar ilmu kesejatian diri, atau bahasa simbokku, hidup refleksif. Ia hanya berpikir "ilmu procot, glogok sok". Kedua, kecebong yang sabar berproses karena mereka tahu diri. Tahu diri bahwa hidup itu nggak bisa "digege mangsa", alias nggak bisa di-instan-kan. Ha...ha...mas Kaesang, kecebong yang semacam ini (sabar berproses) adalah kecebong yang biasa kejar-kejaran berburu ngengat, jentik-jentik. Kecebong semacam ini pulalah yang bila bertemu temannya akan menyapa, bukan malah mengintimidasi atau membuly.
Ketiga, kalau ada kecebong omong jorok, membuly bahkan mencaci, pastilah ia meniru. Siapa yang ditiru?
Ah, dalam hal tersebut, kalau saya mah...kura-kura dalam perahu saja.

Salam ndeso mas Kaesang.
Eh, maaf. Salam kecebong, mas Kaesang!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun