"Oe...'rakyat tidak jelas' mau kemana?" seru temanku.
"Sudrun....jelek-jelek gini, aku ini manusia yang amat jelas. Jelas terlihat, jelas ganteng(tak mungkin aku ayu), la kok dibilangin rakyat tidak jelas. Apa dirimu terkena virus tejoensis?" tanyaku.
"Ah, enggak mas Mar. Cuma kadang kita perlu menyimak berita dan 'mengaktualkannya' dikit dengan kondisi kita berada..."
"Wakakakk...dirimu sudah rajin intip berita ya..." sambungku.
"Kan sudah kubilang, mengaktualkannya...dikit..."
Sahabatku, itulah sekelumit bincang pagi dengan rekan kerja di tempat nyangkul.
Menurutku, seorang pejabat, setingkat menteri ketika berbicara, pastilah pembicaraannya akan disimak. Menyimak pembicarannya tersebut menandakan bahwa beliau masih dihormati, dihargai; baik secara pribadi maupun sebagai simbol kementrian-institusi yang dipercayakannya.
Sayangnya, ketika seorang pejabat berbicara lepas kendali - tanpa kontrol hati, maka efeknya juga tak terkendali. Saya menyimak berapa puluh kali menteri Tedjo dibully. Dalam hati ini ada rasa - antara- kasihan, tak sampai hati, bahkan rasa tak mengerti!
Mengapa begitu?
Saya kasihan karena menteri Tedjo itu orang tua, bahkan dituakan. Dituakan baik dari sisi umur, kepangkatan maupun kedudukannya. Saya tak  sampai hati, karena menteri Tedjo mestinya dihormati, kok malah dicecamah, bahkan perkataannya dibuat remah-remah. Dan saya tak mengerti karena yang mengatakan "rakyat nggak jelas" itu seorang petinggi, yang wajib dipepundhi-dihargai. Maka saya cukup memahami  bila politisi PDIP Dwi Ria Latifa sampai mengatakan "Tedjo seharusnya berhati-hati dalam mengungkapkan sesuatu karena posisinya sebagai pejabat negara."1)
Selain karena tanpa kendali bicara-lepas kontrol hati, bisa jadi sang menteri Tedjo sedang mengukur kekuatan "lawan bicara", rakyat yang berada bersama KPK, kala itu. Saya yakin sang Menteri tahu, ada siapa dibalik kumpul-kumpulnya rakyat di KPK itu.