"Badhe tindak pundi Mas?" (mau kemana Mas) tanya seorang tukang ojek.
"Condong Catur, Pak. Pinten ongkosipun," (ke Condong Catur, berapa ongkosnya) tanyaku.
"Lha nggih manut mawon....Mase badhe maringi pinten?" (turut - ikut saja , Mas mau memberi ongkos berapa) jawab tukang ojek itu. Mendengar jawaban tukang ojek, aku cuma bisa garuk-garuk kepala.
Siang itu, pergilah aku ke Condong Catur, ngojek. Di perjalanan, bapak tukang ojek ini termasuk penyabar. Tak pernah ngebut, apalagi berinisiatif mendahului kendaraan yang lain. No way.
"Medhak pundi Mas," (turun dimana, Mas) tukang ojek menanyaiku.
"Oh...medhak mriki mawon Pak,"Â (disini saja, Pak) jawabku.
Uang selembar puluhan ribu kuberikan kepadanya.
"Wah, cekap gangsal ewu kemawon,"Â (cukup lima ribu saja) bapak itu mau mengembalikan uang lima ribuan seraya membuka helmnya. Aku agak terperanjat, sepertinya aku mengenal Bapak ini.
"Nyuwun pangapunten, Pak. Punapa Bapak punika pak Is, guru kula rikala SMP," (mohon maaf, apakah Anda pak Is, guru saya sewaktu SMP) tanyaku.
"Lo, panjenengan punika sinten nggih, kula kok supen," (anda siapa, saya kok lupa).
"Kula riyin murid Bapak. Kula Marsudi, Florensius Marsudi," (saya dulu murid Bapak. Saya Marsudi, Florensius Marsudi)