Ketika Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan anak belajar di rumah.
"Oalah, pak Flo. Anakku ki loh....diajari nganti ping seket buntet, gak paham-paham. Mumet ngajari bocah siji ki"
(Mengeluh, anaknya yang satu itu/anak sendiri, sudah diajari beberapa kali 'seket buntet-lima puluh buntu-istilah'Â , masih juga gak paham-paham. Pusing mengajar anak satu ini)
"Pak Flo, anakku ki ndableg tenan"
(Anakku keras kepala, susah diatur, tambeng)
Sahabat Kompasiana, memang mendidik/mengajar anak sendiri, tidaklah mudah. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Andai seorang bapak muda, yang baru memiliki satu anak, sekolah di kelas kecil, dan ia harus belajar di rumah (on line) lalu bapak itu harus mengajarinya membaca, menulis, berhitung, pastilah ia akan kerepotan. Â Strategi mengajar anak dengan satu latar belakang saja sudah sulit, apalagi mengajar anak dengan beragam latar belakang.Â
Maka tidak mengherankan, ketika ada orang tua yang mengeluh, bahwa  mengajar anaknya sendiri katanya susah.  Anaknya akan lebih menurut ketika diajar oleh gurunya di kelas. Itu wajar.
Tetapi, benarkah demikian keadaannya, bahwa mengajar/mendidik anak sendiri itu susahnya setengah mati? Â
Menurut saya, kok tidak ya. Kok bisa gitu?
Pertama, anak sendiri pasti sudah dikenali karakter, tabiat, watak dan perilaku positif yang sangat dominan. Ketika sentuhan positif mengena di hati anak, pastilah dengan sendirinya anak akan menurut, memahami apa tujuan pembelajaran yang akan dipaparkan orang tuanya.
Kedua, variasi tempat. Ketika orang tua mengajari anak belajar, dan memperhitungkan tempat belajar, pasti akan lebih menarik. Kadang di kamar anak. Kadang di taman, kadang di dapur sambil memasak, bila perlu sambil memasak, anakpun dapat diajari matematika. Misalnya, menghitung onde-onde (ketika menggoreng onde-onde). Mengenalkan nama alat-alat dapur, jumlahnya berapa dan seterusnya.