Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya. Jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak.Apa yang lebih dari itu berasal dari si jahat.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di bawah pohon jambu, wanita bertubuh sintal itu memelukku. Sesekali tangannya kelayapan nakal. Sepotong kalimat mulai meluncur dari bibirnya yang merah merekah, mengundang gundah.
“Sumprit Mas, aku cinta kamu?”
“Ah, masa….”
“Iya, aku yakin. Aku terlahir hanya untukmu. Kaulah satu-satunya.”
“Ah…mbok yang realistis saja jika membicarakan cinta-cintaan.”
“Ini real, Mas. Andaikan aku jendral, pasti kukorbankan anak buahku. Aku rela dimutasi, ‘ditelanjangi-diblejeti: ‘demi penyegaran’, ‘demi hal yang biasa’, ‘demi dosa-dosaku’….sumprit, Mas!”
“Duh, kata-katamu kok semakin memabukkanku, bagai Sengkuni merayu Dewi Pergiwa - Pergiwati untuk diperistri….”
“Ya – iyalah, Mas. Cinta harus dibuat mabuk. Mabuk untuk mengerti dengan akal sehat. Ataupun mabuk untuk membunuh karakter, supaya ‘yang lain’ tetap seger….Sumprit, Mas.”
“Maaf, sayang. Sejak tadi kok cuma sumprat-sumprit, sumprat-sumprit. Jangan-jangan cintamu hanya sebatas prat-prit-prat-prit itu juga. Hanya sebatas bunyi prit….prit….prit…yang susah untuk 'diterjemahkan'....”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H