Alam bersabda lantang,
jika kau dirikan rumah di tanah berpasir,
bangunanmu akan goyang,
ketika angin kencang mulai mendesir.
Namun kau tak hirau!
Seolah maumu lebih kuat dari urat malumu,
tangan yang merajah dan menjarah,
membelah bumi seakan terus bertuah!
Lihatlah karya paksa ulahmu,
maksud hati memeluk gunung,
apa daya gunung limbung...
longsor bertimbun - timbun.
Tanah timbun yang kau susun,
bak air mencium gayung,
berkecipak - cipok , tumpah meruah....
lari ke arah rendah!
O...tanah hulubalang,
andaikan ia bisa memekik,
"Bebaskan aku!"
Tak kubiarkan mulut meluncurkan isi perut.
Demi serupiah mengganjal kursi mewah,
hai tengik - penyeruak - alam yang indah,
bukalah ikat kemaluanmu,
tunjukkan hidungmu peragu penuh nafsu!
Alam yang berberkah,
dibedah serakah, demi rupiah.
Untunglah kau punya cara,
tampil diri tanpa merana seolah tanpa jasa.
Longsor mengikis pondasi meringis,
tampakkan isi perut bumi,
kau rapuh dihujam besi korupsi,
kini kau tak bisa lari...satu yang nyata, mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H