Ada seorang raja. Ia sangat capai bekerja, maklum banyak pekerjaan yang harus segera dirampungkan. Saking capainya hingga beliau kurang tidur, berkantung mata menggelantung - mata cekung bak perenung. Saat itu ia sedang duduk di singgasana, dan beliau agak terkantuk-kantuk mendengarkan para penasehatnya berbicara, beradu rasa dan asa.
Satu penasehat sedang berbicara tentang cara menyumbat air kental yang keluar dari tanah penduduk. Cara yang disarankan penasehat itu sangatlah mudah; biarkan saja air kental itu mengalir, lebih baik dibuatkan kolam - bendung, pasti penduduk akan 'minggir' - mengungsi - pergi dengan sendirinya. Lalu tanah itu bisa menjadi milik kerajaan, dan barang tentu penasehat kerajaan "kecipratan" tanahnya....
Penasehat yang lain memberi pengarahan, agar hubungan dengan kerajaan lain bagus, harmonis - diplomatis, manusiawi - humanis;Â maka perlu diadakan 'barter' tahanan. Andai barter nggak bisa ya.... minimal pengurangan jumlah hari - masa 'kurungan' bagi sang tahanan. Sang raja manggut-manggut....mengiyakannya, sekalipun manggutan sang raja membuat gonjang-ganjing seantero kerajaan.
Penasehat bagian olah kaprawiran dan olah kanuragan mengatakan, sudah sekian lama para penggawa kerajaan nggak punya raket untuk 'namplek'Â bulu ayam. Penggawa perlu main badminton. Maka para penggawa negeri berlomba untuk minta bonus raket. Para penggawa sibuk minta raket (bahkan raket tambahan tahunan).
Sibuk mengurus dirinya sendiri, mereka lupa jika mereka mempunyai anak buah. Mereka lupa mempunyai anak didik, hingga anak buah - anak didik para penggawa itu juga lupa memperjuangkan "nilai raket itu". Lupa bahwa sabetan raket mempunyai cita rasa nasionalisme kerajaan yang perlu dibela. Alhasil, anak buah nggak disiplin, nggak latihan dengan keras, nggak membela kerajaannya, malah para anak buah itu membela 'isi plus - bonus - fulus' isi kantongnya masing-masing. Nasionalisme cuma sekedar isme belaka.
Terlalu banyak penasehat berbicara, terlalu capai sang raja mendengarkan; akhirnya sang rajapun tertidur pulas di kursi kebesarannya. Disaat tidur itulah ada beberapa nyamuk yang menggigit kening sang raja. Penasehat raja langsung mengambil palu godam yang dipegang pengawal raja.
"Blukkkkk....", palu itu dipukulkan mengenai kening sang raja. Nyamuk di kening sang raja mati, begitu juga dengan sang raja. Raja ikut tewas kena libas palu.
"Penasehat, mengapa anda membunuh raja?" tanya pengawal dengan panik.
"Lah, daripada nyamuk-nyamuk kecil itu yang membunuh, menyedot darah raja.... lebih baik saya yang membunuh nyamuk itu duluan. Perkara sang raja ikut terbunuh karena pukulan palu itu, itu 'kan efek samping dari sebuah tindakan, efek samping sebuah pukulan" jawab penasehat enteng.
_______________________________
Begitulah, ketika mengambil kebijakan tak disertai kebijaksanaan, yang terjadi adalah "pembunuhan" dan pembunuhan. Sangat baik mendengarkan nasehat orang lain, tapi lebih baik orang mendengarkan hatinya yang tulus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H