Bentuk tubuhku menarik,
Hitam, kuning dan kasar berparut,
Makanan terolah dengan baik,
Menikmatinya sambil manggut-manggut.
Aku hanyalah tiwul,
Diolah dari ubi nan kering,
Ditanam berkat cangkul dan dengkul,
Sebagai penghilang bibir kering.
Bentukku berdaya tarik,
Kampanye kemarin sering dilirik,
Bagi mereka yang ingin meraup suara,
Agar bisa duduk di kursi singgasana.
Kampanye berebut simpati massa,
Makan tiwul untuk satu sasaran utama,
Mengepulkan suara dari rakyat jelata,
Ataupun agar dianggap sederajat sama!
Tiwul....nasibmu berbau politis,
Bagi mereka yang suka jumawa,
Walau  terpampang tak'lah etis,
Mengumbar derita menggambar lara.
Merasakan nikmatmu berbalut pamrih,
Bagi mereka yang ingin mendapat simpati,
Merengkuh kuasa di alam mimpi,
Dengan cara berbasa-basi!
Begitu mereka duduk di kursi,
Ada yang lupa berdiri,
Entah karena tidur mendengkur,
Ataupun karena sedang "bertafakur".
Tiwul...tiwul...tiwul...tiwul.
Citarasamu terombang-ambing,
Oleh mereka yang hidup genting,
Memikirkan kuasa bak tiwul di piring!
---------------------------------------------------------
Menikmati tiwul di kota Gudeg....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H