Aku bersandar pada pintu kereta sembari megatur nafas yang hampir hilang karena berlarian mengejar kereta di siang yang terik. Tiba – tiba pandanganku jatuh pada sesosok anak perempuan kurus berambut panjang tidak beraturan yang hanya mengenakan kaos Mickey Mouse dan celana biru yang sudah lusuh di ujung gerbong. Dia terlihat asyik menghitung uang receh yang ada di tangannya sambil meminum air mineral gelasan. Wajahnya terihat sumringah meski peluh masih menghiasi dahi dan sebagian besar bagian tubuhnya. Tak lama kemudian anak itupun turun di stasiun yang sama denganku, tanpa sadar aku mengikutinya. Beberapa meter berjalan, anak itu terlihat naik ke salah satu angkutan umum, aku pun ikut naik bersamanya. Di dalam angkutan itu, dia bernyanyi melantunkan sebuah lagu sambil diiringi suara gitar mungilnya yang penuh dengan bekas coretan. Suaranya lembut dan tidak fals, kesungguhannya menyanyikan lagu tersebut terpancar jelas dari wajahnya. Aku tersenyum dan memberikan selembar uang 5000 ribuan kepadanya. Dia tersenyum, senyum yang lucu dan tulus menandakan dia sangat senang menerima uang tersebut.
Beberapa saat kemudian dia pun turun di salah satu pemukiman lusuh yang dipadati oleh gerobak – gerobak sampah. Kakiku tanpa sadar mengikutinya, mengikuti kaki kecil yang tertatih – tatih menyusuri jalanan rusak di pemukiman tersebut. Sampai tibalah dia di suatu rumah kecil bercat coklat, tak lama setelah dia masuk, anak tersebut keluar dari rumah tersebut sambil membawa buku catatan merah muda dan pena. Aku tidak tahan lagi untuk menyapa langsung anak tersebut menanyakan langsung tentang dirinya dan semangatnya serta senyumnya yang tidak pernah hilang dari wajah kecilnya sedari siang sampai matahari sudah terlalu malu untuk menunjukkan dirinya lagi.
Ayah. Dia bilang itu untuk ayah, semuanya untuk ayah. Sari namanya, gadis itu bekerja dari pagi hingga siang menjadi anak jalan dan bernyanyi di angkutan umum hanya untuk membantu keadaan keluarganya. Namun ia tidak pernah lupa untuk menimba ilmu layaknya anak – anak seumurnya. Dia tidak bisa berlama – lama bercakap –cakap denganku, dia hanya menitipkan suatu pesan padaku. Pesan yang sangat penting dan akan selalu kuingat. Tersenyum. Hanya satu kata itu yang dia ucapkan padaku, agar selalu tersenyum tulus. Dia percaya dengan cara itulah, dia mampu untuk menatap dan terus menjalani hari – harinya kedepan dengan penuh semangat dan ketulusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!