Angin berhembus dengan kencang, dedaunan dan pepohonan terombang-ambing oleh angin. Malam ini langit mendung, suara guntur yang memekakan telinga menandakan hujan akan segera turun.
Femi menutup korden dan jendela kamarnya. Dia segera menuju tempat tidur dan meringkuk sembari menyelimuti dirinya, sementara Ayahnya masih duduk di ruang tamu setelah memastikan semua jendela, korden dan pintu rumahnya tertutup. Sekarang semua begitu gelap karena semua listrik di padamkan dari pusat.
Keadaan desa Celiling memang sedang tidak aman. Banyak berita yang beredar bahwa ada mahkluk aneh yang penduduk desa tebak adalah vampir berkeliaran di desa Celiling. Vampir tersebut menyamar menjadi manusia dan akan membuka penyemarannya saat malam tiba. Banyak yang sudah memergoki vampir itu berkeliaran pada malam hari, bahkan sedang menggigit hewan peliharaan warga.
Sementara hujan mulai turun yang lama-kelamaan menjadi deras, adik angkat Femi yang benama Fera mulai gelisah. Ayah angkatnya berada di ruang tamu menjaga keluarganya dari bahaya yang sedang mengancam desa Celiling. Lama-lama Fera bisa kembali tenang dan membaringkan dirinya di kasur miliknya yang empuk dan hangat.
***
“Hoaam...” Femi yang terbangun karena bunyi alarm di hapenya segera menguap dan mengulet. Badannya terasa sakit dan pegal-pegal karena posisi tidur yang kurang baik.
Segera Femi keluar dari kamar dan menuju kamar mandi. Karena masih mengantuk dan dengan mata yang sedikit terpejam membuat Femi gak melihat kalau di ada Fera didepannya dan akhirnya Femi menabrak Fera.
“Adaw... sakit banget,” ucap Femi spontan memgangi hidungnya yang terbentur kepala Fera karena tabrakan tadi.
“Kakak sih gak hati-hati!” omel Fera ke kakaknya lalu melengos menuju kamarnya.
“Maaf,Dek. Tapi bukan kamu aja kok yang kesakitan. Kakak juga sakit nih hidungnya,” ucap Femi agak keras agar Fera yang udah menuju kamar bisa mendengarnya. Femi lalu menuju ke kamar mandi masih memeganngi hidungnya yang msaih terasa sakit. “Gila banget tuh Fera. Bisa bikin hidung aku hampir patah,” batin Femi.
“Mata kamu kok marah? Habis nangis atau kenaapa?” tanya ibu angkatnya ke Fera setelah mereka semua berkumpul untuk sarapan.
Fera gelagapan sambil berpikir keras mencari jawaban yang logis. “Em... anu... tadi malem Fera susah tidur jadi Fera kurang tidur. Fera kalau kurang tidur emang suka merah matanya,” jawab Fera akhirnya setelah menemukan jawaban yang dia cari-cari dari tadi. Ibunya hanya mengangguk lalu meneruskan sarapannya, sementaraa Femi yang baru menyuap beberapa sendok udah gak nafsu makan lagi mengingat kenyataan yang ada.
Selesai sarapan, Femi dan Fera segera berangkat sekolah. Sekolah mereka memang sama hanya berbeda kelas. Femi kelas 12 sementara Fera kelas 10. Mereka berangkat sekolah menggunakan motor mereka masing-masing. Ketegangan memenuhi Femi saat mereka menuju sekolah.
Saat mereka sedang memakirkan motor mereka, Fera selalu menatap Femi tajam. Femi hanya bisa tersenyum ditatap seperti itu oleh adik angkatnya. Femi tahu kalau Fera masih marah ke Femi karena tabrakan tadi. Jadi, sebagai kakak, Femi harus mengalah. Biarlah Fera menenangkan dirinya dulu.
Tapi tanpa sepengetahuan Femi, selama di kelas, Fera masih tetap aja menatap teman-temanya dengan tatapan tajam. Teman-temannya hanya bisa menunduk takut. Tapi ada juga yang protes dengan tingkah laku Fera yang aneh dari tadi. “Kamu kenapa sih, Ra? Aneh tahu gak tingkamu dari tadi,” tanya Riko cowok yang selama ini menyukai Fera. Tapi Riko malah mendapatkan tatapan yang tajam atas pertanyaannya tadi.
***
“Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar gak tahan. Kenapa hal yang sangat tabu untuk diketahui dan tabu untuk dipikirkan malah aku ketahui dan terbayang-bayan terus di otakku? Sugguh sial..!” ucap Femi tanpa spasi sambil mondar-mandir kesana-kemari di kamarnya. “Aku tau,” ucapnya agak ragu lalu keluar kamar.
Femi memeriksa keadaan rumah. Ibu dan Ayahnya belum pulang dar kantor, tapi Fera? Dimana dia? Mungkin sedang pergi, pikir Femi. Dengan segera, Femi menuju tempat dimana mtornya terpakir.
“Mau kemana, Kak?” tanya Fera yang tiba-tiba datang entah dari mana.
“Mau main ke rumah Baba,” jawab Fera berbohong.
“Ciee... ada yang mau mojok nih,” ledek Fera, sementara Femi hanya bisa tersenyum kecil lalu segera pergi meninggalkan rumah ke tempat yag ingin dia tuju dan tempat itu bukanlah rumah Baba.
“Permisi...”
“Oh iya, ada apa, Dik? Silahkan masuk,” ucap seorang pegawai kantor Balai Desa Celiling yang melihat Femi berdiri di depan pintu.
“Maaf, Bu mengganggu. Boleh saya bertemu dengan Pak Kades?” tanya Femi setelah memasuki ruang kantor Balai Desa.
“Oh bisa. Adik jalan lurus aja, nati ada pintu yang bertuliskan Kepala Desa. Di situ ruangannya.” Pegawai tadi menunjuk jalan yang menuju ruang Kepala Desa.
Setelah mengucapkan terimakasih, sesegera mungkin Femi menuju ruang Kepala Desa. “tok...tok...tok...” Femi mengetuk pintu sesampanya dia di depan ruangan Kepala Desa. Sementara dari dalam Pak Kades memerintahkan Femi untuk masuk.
Setelah dipersilahkan masuk, Femi tak menunggu lama untuk segera masuk ke dalam ruangan dan duduk di kursi yang ada di depan Pak Kades. Setelah melihat Femi, Pak Kades sedikit keheranan. “Ngomong-ngomong ada perlu apa ya, sampai Dik Femi ke sini?” tanya Pak Kades yang kebetulan teman Ayahnya Femi.
“Anu... Pak, Femi mau gomong sesuatu yang penting,” jawab Femi dengan perasaan yang gak karuan.
“Katakan saja.”
“Anu... eh... emm... Femi tahu siapa, eh siapa vampirnya, Pak,” jawab Femi gelagapan.
“Maksudnya, Dik Femi tahu siapa vampir yang selama ini meganggu desa Celiling?” Pak Kades berusaha memastikan perkataan Femi tadi.
“Ya, Pak.” Fei menelan ludahnya.
“Adik serius? Siapa dia?”
“Lebih baik, Pak Kades ikut Femi aja. Femi akan munjukka siapa vampir itu sebenarya secara langsung.” Femi sekarag sudah bisa mengendalikan dirinya.
Dengan segera Pak Kades memberitahukan apa yang tadi Femi katakan kepada beberapa pegawai Balai Desa. Mereka mengikuti Femi sebagaimana yang Femi katakan tadi.
“Bukannya ini jalan ke rumahmu?” tanya Pak Kades. Motornya sekarang berada di sebelah motor Femi yang sedang melaju.
Femi hanya menganggu dan menealan ludahnya sekali lagi. Ketegangan menyelimuti dirinya sekarang. rasa takut dan bersalah menghantui dirinya.
Mereka sampai di depan rumah Femi. Femi segera memakirkan motornya di depan rumahnya dan berlari ke dalam rumah yang diikuti oleh Pak Kades dan bawahannya.
Femi tercekat, badannya lemas, kakiknya gemetar dan karena kakinya tak cukup kuat untuk menopang berat badannya sendiri, Femi jatuh berlutut di depan jasad kedua orangtuanya. Lutut Femi membentur lantai yag keras dan mengakibatkan lututya bedarah. Rasa perih, sedih, sakit, tersiksa takut dan rasa bersalah bercampur menjadi satu di hatinya melihat jasad kedua oratuanya yang masih menggunakan seragam kantor tergeletak di lantai tak berdarah dan berlumuran darah. Femi menagis sejadi-jadinya.
Sementara itu, Pak Kades beserta bawahannya hanya bisa terpaku karena tekejut. Pak Kades yang segera tersadar dari tekejutannya menghampiri Femi yang sekarang sedang menangis sembari mengguncang-guncang jasad kedua orangtuanya.
“Kenapa dengan kedua orangtuamu, Dik?”
“Ulah vampir itu. Dia yang telah membunuh kedua oranguaku. Aku yakin itu. Dan dia adalah...”
Pak Kades dengan setia menanti jawaban yang akan disampaikan oleh Femi. Pak Kades juga sebenarnya ingin menangis melihat nasib temannya.
“Adik angkatku sendiri. Fera.” Air mata Femi semakin deras setelah mengucapkan nama Fera. Femi melihat ada bekas gigitan di leher Ayah dan Ibunya.
“Bapak ikut berduka cita, Dik.”
“Terimakasih, Pak,” jawab Femi masih menangis. Tapi dia sedang berusaha agar tangisnya tak keluar lagi. Dia harus menrima takdir.
“Dik, ini ada surat. Coba dibuka. Mungkin penting,” kata seorang bawaha Pak Kades sembari menyodorkan gulungan kertas yang terdapat setetes darah mengotori kertas tersebut.
Untuk Kakak angkatku,
Kak maafin Fera. Fera tahu kalau Kakak udah tahu bahwa Fera adalah vampir. Kak maafin Fera ya, di sekolah Fera udah berlaku gak baik ke Kakak. Fera cuman masih gak bisa menerima kalau Kakak tahu siapa Fera sebenarnya.
Kak, surat ini Fera tulis bebera menit atau mungkin detik sebelum Fera menjadi abu dan setelah Fera membunuh kedua oragtua Kakak. Fera itu emang vampir yang jahat. Fera di asingkan dari kaum Fera karena sesuatu keasalahan yang fatal. Fera dikirim ke dunia manusia lalu Ayah dan Ibu nemuin Fera. Fera hidup di kaum manusia juga mempunyai pantangan, yaitu Fera gak boleh memangsa manusia yang Fera sayangi nantinya, tapi skarang Fera telah melanggar pantangan tersebut. Maaf atas semua yang telah Fera lakukan selama ini dan maaf karena Fera telah membunuh kedua orangtua Kak Femi. Itu terjadi di luar kendali Frea. Fera saat iu benar-benar haus.Tapi disaat Kak Femi baca surat ini, Fera udah gak ada di dunia ini dan artinya Desa Celiling tudah aman kembali.
Kak, tolong kumpulkan abu Fera yang ada di kamar Fera. Terimakasih atas semanya. Fera sayang Kakak, Ayah dan Ibu.
“Kalau kamu sayang ke Kakak dan kedua orangtua Kakak. Kenapa kamu tega ngelakuin semua ini, hah?! Sekarang Kak Femi udah jadi anak yatim-piatu dan ini semua gara-gara kamu, Fera. Kaka benci kamu! Dasar gak punya rasa terimakasih!” teriak Fera setelah membaca surat dari Fera tadi. Femi menangis lagi, semakin deras. Dia memeluk jasad kedua orangtuanya.
Femi lalu bangkit berdiri. Dia menghapus air matanya, walaupun hal itu percuma karena air mata yang lain mengalir lagi dri matanya. Femi berlari menuju kamar Fera. Dia menemukan kantong plastik yang tergantung di dinding kamar Fera lalu megumpulkan abu Fera yang tersebar di lantai kamar Fera ke dalam kantong plastik tadi. Tapi bukannya menimbun abu Fera, Femi malah memasukkan abu Fera ke closet dan menyiramnya sehingga abu Fera hilang terbawa air.
“Rasain kamu Fera. Emang enak masuk ke dalam closet yang bau? Emang enak, hah?! Hal itu juga belum sepadan dengan apa yang telah kamu lakukan terhadap kedua orangtuaku!” teriak Femi. Kemarahan memenuhi dirinya yang masih tetap menangis.
Femi keluar dari kamar mandi dan berlari kembali ke ruang depan dimana jasad kedua orangtuanya tergeletak. Tapi ada yang berubah sekarang. tetangganya berkumpul di rumahnya. Begitu juga dengan adik dari Ibu Femi, Tante Mia yang sedang menangis di hadapan jasad Ibu Femi.Femi menghampiri Tante Mia dan mereka berpelukan.
Femi hanya bisa pasrah dengan keadaan. Mungkin dia akan tinggal dengan Tante Mia. Femi berencana pergi dari rumahnya dan melupakan Fera. Walaupu itu menyakitkan, kerena rumah tersebut meyimpan berjuta-juta kenangan antara dirinya dan keluarganya. Tapi Femi harus melakukan hal itu. Sementara besok adalah hari pemakaman kedua orangtuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H