Mohon tunggu...
Sabar Rudy Charolus Siallagan
Sabar Rudy Charolus Siallagan Mohon Tunggu... Buruh - Pembaca

Peminat beragam bacaan, mengejawantahkan hasil bacaan melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Vita Contemplativa, Sebuah Komunikasi dalam Hening

16 Oktober 2024   20:43 Diperbarui: 16 Oktober 2024   20:47 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

''Dunia yang hiruk pikuk" istilah ini tentulah bukan istilah yang berlebihan untuk menggambarkan keadaan dunia masa kini. Buka twitter kita akan langsung disuguhi berbagai twittwar dari beragam latar belakang dan motivasi. Di twitter kita bisa mudah menyulut perang tweet hanya dengan menyinggung "plastik" baik sampah plastik maupun operasi plastik. Di Instagram rentetan instatory yang seakan membentuk sandi morse menjadi model keramaian yang unik di aplikasi tersebut, hanya sekedar foto atau video liburan namun cukup bikin iri. Dan sebagai pengguna gadget kita terus berputar-putar dalam berbagai sosmed yang hiruk pikuk itu sepanjang waktu, bahkan ketika kita masuk toilet yang seharusnya hening itu pun kita masih membawa ponsel kita.

Lingkungan sekitarpun tak kalah hiruk pikuk bukan? Perjalanan menuju tempat kerja atau tempat kuliah yang penuh dengan desing kendaraan, ketika weekend yang kita harap lebih sunyi biasanya diisi dengan musik dangdut hajatan tetangga atau tak jarang diselingi dengung mesin pemotong keramik dan suara hentak latto-latto sebagai metronome irama pemecah sunyi itu.

Manusia kekurangan saat teduhnya, bahkan saat teduh dibeberapa gereja pun mulai diiringi musik, jikapun tidak, saat teduh seringkali diselingi derap langkah orang yang terlambat, atau bisik-bisik tipis dari beberapa orang yang jika bersamaan dibisikkan terdengar seperti dengung lebah. Dalam sekian detik "saat teduh" itu, kita kehilangan keteduhan. Kita lupa bahwa dalam saat teduh itu kita sedang 'Menghadap Tuhan' sehingga seringkali kita tidak siap dengan pertemuan itu, maka pertemuan itu hanya menjadi sebuah pertemuan yang berisi monolog abstrak antara kita yang terburu-buru dengan diri kita sendiri.

Dalam kehidupan yang sehat perlu keseimbangan antara Vita contemplativa dan Vita activa, selaras dengan Tulisan Pengkhotbah 3:7 bahwa "ada waktu untuk berdiam diri dan ada waktu untuk berbicara." Orang yang berkeperibadian matang tahu kapan harus berbicara kapan harus berdiam. Dan pola ini juga berlaku dalam hubungan dengan Tuhan.

Istilah Vita contemplativa diadopsi dari sebuah buku yang berjudul The Human Condition yang ditulis oleh Hannah Arendt seorang filsuf berkewarganegaraan Jerman. Ada dua istilah yang dicetuskan dalam buku ini yang pertama ialah Vita Activa dan yang kedua ialah Vita Contemplativa. Dalam tulisan ini kita akan mengurai tentang Vita Contemplativa dan aplikasinya dalam kehidupan spiritual kita, bahkan dalam komunikasi kita dengan Sang Pengasih. Meski istilah ini bukanlah istilah theologis, namun tulisan ini akan menjembatani istilah-istilah dalam filsafat dan memaknainya secara theologis, sebab seringkali tercipta stigma, bahwa filsafat beririsan dengan atheism dan cenderung memusuhi kepercayaaan terhadap Tuhan, yang mana pemahaman tersebut ialah pemahaman yang tidak sepenuhnya benar.

Secara definitif Vita Contemplativa memiliki makna gaya hidup hening dan meditatif di mana seseorang mengambil waktu untuk merenung, bermeditasi dan mengejar kesadaran spiritual. Bermeditasi dalam konteks masa kini tentu bukan lagi pergi ke gunung bertapa bertahun-tahun dan ketika pulang kembali kerumah nama kita sudah dicoret dari kartu keluarga.

Vita Contemplativa adalah masa hening saat kita berhadapan dengan Tuhan, diam dan mencoba memahami isi hati-Nya melalui firman-Nya yang tertulis. Kita meneduhkan jiwa dan raga mendengar apa yang Dia katakan pada kita melalui sabda-Nya. Dalam keheningan kita merelakan diri kita diajar, ditegur bahkan juga ditopang oleh firman yang berkuasa itu sehingga secara perlahan hati dan hidup kita diubahkan oleh Sang Pemilik firman itu. Biarkan hening itu menimbulkan getar halus atau mungkin angin sepoi-sepoi basah seperti yang dirasakan Elia dalam Raja-raja 19, yang menjadi penyerta kehadiran Allah.

Waktu hening, waktu merenung di hadapan Tuhan dapat kita lakukan sebagai kegiatan pembuka hari, seperti Tuhan Yesus yang memisahkan dirinya untuk berdoa ketika 'pagi-pagi benar' kita dan menjadi penutup hari dalam hidup kita sebelum tidur. Bukankah dia Alfa dan Omega, yang awal dan yang akhir, baik untuk semesta maupun untuk kita umat-Nya. Panjang pendek durasi tak menjadi pengukur kualitas pertemuan, namun kesadaran bahwa kita bertemu dengan Sang pencipta yang penuh kasih akan menjadi pemenuh syukur, sebab Dia yang Agung berkenan menyapa anak-Nya yang tertunduk dalam keberserahan.

"Let him who cannot be alone beware of community, and let him whois not in community beware of being alone"

(Dietrich Bonhoefer, The Day Alone)




 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun