Dmitriev Abraham, atau  yang akrab dipanggil Abe Cekut, belakangan ini sedang naik daun di sosial media. Balita berumur 3 tahun ini merupakan putra dari Benny dan Regina Bellanandra. Ayah Abe sering menggunakan fitur tiktok live untuk membagikan kebersamaan mereka.  Popularitas Abe melonjak tinggi tatkala dalam salah satu video ia keliru menyebutkan kata "kecut" menjadi "cekut". Sejak saat itu, penonton video Abe telah mencapai ratusan  ribu. Kini, para netizen yang sebagian besar berasal dari generasi-z berlomba-lomba untuk bertemu dengan abe, membuat video parodi, bahkan mengarasemen lagu dari kalimat yang sering diucapkan Abe. Bahkan  oleh karena banyaknya netizen yang menyukainya, Abe memberi julukan untuk para penggemarnya dengan sebutan "onty" dan "angkel".
Lantas mengapa ini menjadi sangat menarik bagi generasi-z? Salah satu faktor yang menyebabkan Abe menjadi sangat populer dikalangan generasi-z adalah karena peran serta seorang ayah dalam masa tumbuh kembang seorang anak. Dalam konten yang tersebar di media sosial, Abe kerap kali mendapat waktu yang berkualitas bersama dengan kedua orang tuanya. Bersebrangan dengan itu, generasi-z merupakan salah satu generasi yang menjadi korban atas tumbuh kembang tanpa kehadiran batiniah seorang ayah. Kemudian dalam perkembangannya, generasi-z ini disebut sebagai generasi pengidap fatherless. Kementerian Sosial Republik Indonesia menyatakan dalam buku "Our Father (less) Story: Potret 12 Fatherless Indonesia", Indonesia dinobatkan pada urutan ke 3 sebagai negara Fatherless (Mochammad Dipa, 2021).
Fatherless  merupakan  fenomena  yang  terjadi  ketika  seorang  Anak  tumbuh  tanpa kehadiran seorang Ayah di dalam keluarga mereka baik karena kematian, perceraian, atau absennya Ayah secara emosional dan fisik. (Siswadi, 2023).
Poin penting dalam fatherless adalah bagaimana peran ayah hilang dalam kehidupan anak. Seorang anak yang kehilangan ayahnya oleh sebab perceraian dan kematian memiliki konsepsi diri yang lebih tinggi dari pada anak yang masih memiliki ayah namun kehadirannya tidak pernah dirasakan dalam proses tumbuh kembangnya.
Fatherless, Sebuah Bentuk Patriakis Indonesia?
Pengaruh utama dari fenomena ini sesungguhnya tumbuh dari budaya patriakis yang masih sangat kental dalam masyarakat Indonesia. Kebudayaan  yang masih mengglorifikasi posisi ayah sebagai pencari nafkah membuatnya tidak perlu memikirkan urusan rumah tangga dan pertumbuhan anak.  Budaya menempatkan laki-laki sebagai pekerja dan perempuan sebagai pengasuh sehingga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penilaian setiap orang, yaitu peran utama ayah sebagai pekerja (Khasanah & Fauziah, 2020). Seorang ayah memiliki posisi yang sangat tinggi dalam keluarga sehingga mengurus dipandang sebagai suatu pekerjaan yang sederhana dan tidak lebih penting dari peran mencari nafkah. Padahal, ditengah  pesatnya perkembangan emansipasi wanita, pencari nafkah bukanlah satu-satunya diperankan oleh seorang pria. Stereotip yang keliru atas kewajiban mendidik anak inilah yang menjadi pemicu utama mengapa fatherless dapat terus terjadi.
Dampak Fatherless
Sosok Ayah sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi dan psikologis seorang anak. Kehadiran seorang ayah juga sangat penting dalam membentuk konsep diri pada anak. Fenomena fatherless memberikan suatu dampak yang besar pada pertumbuhan mentalitas seorang anak, terlebih pada kehidupan sosialnya. Selain kehilangan kasih sayang, Anak cenderung merendah diri dan tidak mengenal jati  diri  mereka,  hal  ini  terjadi  akibat  Anak  tidak  dapat  membedakan  sisi  feminin  dan maskulin yang  seharusnya  didapatkan  dari  kedua  orang  tuanya.
Beruntungnya, generasi-z memiliki kepekaan tinggi pada isu-isu tentang kesehatan mental dan sosial, dengan akses internet dan teknologi yang pesat, generasi-z mudah menyadari bahwa kondisi yang membentuk mereka saat ini tidak lain adalah oleh karena hilangnya peran ayah dalam masa kecil mereka.
Inilah mengapa konten yang dibuat oleh ayah Abe, memberikan suatu harapan baru untuk menciptakan generasi yang kasih sayangnya penuh dari kedua orang tuanya. Abe memberikan harapan pada generasi-z untuk mempersiapkan diri lebih baik lagi sebelum memutuskan untuk menikah. Abe menjadi teladan tumbuh kembang optimal dari kedua orang tua yang bahagia dan mengerti bagaimana konsep saling melengkapi dalam kehidupan rumah tangga. Pola asuh orang tua Abe mencerminkan bagaimana kedua orang tuanya telah siap menjadi seorang orang tua. Sebab mengasuh anak adalah perihal ikatan batin, bukan berdasarkan pada siapa yang pantas. Pola asuh mengandung cinta kasih utuh yang hanya dapat di curahkan oleh ayah dan ibunya.Â
Kini dalam perkembangan teknologi yang semakin masif, disertai dengan pergerakan emansipatif dari perempuan yang semakin erat, budaya patriakis dalam mendidik anak sudah sepantasnya di musnahkan. Sebab, kita perlu menciptakan generasi yang sehat baik secara fisik dan psikologisnya, sebagai langkah besar menuju generasi emas 2045.