Mohon tunggu...
Firman Kurniawansyah
Firman Kurniawansyah Mohon Tunggu... Guru - Pengajar di Surabaya

Pengajar di Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keramat di 17 Agustus

17 Agustus 2023   08:57 Diperbarui: 17 Agustus 2023   09:00 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemilihan 17 Agustus, sebagai hari kemerdekaan, sekilas seperti kebetulan saja. Tetapi kalau kita tilik riwayat seputar perisiwa itu, bisa jadi, 17 Agustus dipilih karena nuansa psikologis istimewa dari Sang Kuasa yang melekat pada tanggal itu.

Setelah berita tentang kekalahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu 14 Agustus 1945 tersiar, terjadilah pergulatan di antara para pemuka pergerakan nasional di Indonesia. Para pemuka golongan muda, macam Sukarni, Chairul Saleh, Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis dkk, terlibat diskusi sengit dengan golongan senior, utamanya Bung Karno, Bung Hatta dkk. Intinya para pemuda mendesak kepada Bung Karno dkk agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Debat berkepanjangan itu berlangsung, kalau menurut riwayat, mulai 15 Agustus petang di Rumah Bung Karno Pegangsaan Timur, hingga keesokan harinya 16 Agustus 1945 di Rumah Djiaw Kie Siong, di Rengasdengklok, Kabupaten Karawang di masa kini. 

Jika menuruti keinginan golongan muda, maka Proklamasi Indonesia semestinya terjadi pada 15 - 16 Agustus 1945. Tetapi, kita tahu, bahwa Bung Karno dan Bung Hatta menolak. Bung Karno secara tegas menyatakan bahwa dirinya telah berencana menyatakan kemerdakaan Indonesia di tanggal 17 Agustus, sejak mengetahui kekalahan Jepang. Pemuda Sukarni menurut riwayat, sempat mempertanyakan alasan keputusan itu.  

"Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Alquran diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia " terang Bung Karno saat itu.

(Diskusi ini  ada yang meriwayatkan terjadi di Rengasdengklok, ada pula yang menceritakan terjadi di Jakarta sebelum Peristiwa Rengasdengklok, Allahu alam).

Pendek kata, usulan Bung Karno inilah yang akhirnya diterima semua pihak. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia terjadi pada Hari Jumat Legi, 17 Agustus 1945, bertepatan dengan tanggal 9 Ramadhan 1364 H. Yang kemudian menjadi menarik, pemilihan angka 17 sebagai angka 'baik', rupanya juga selaras dengan warisan kepercayaan atau juga tradisi di Kepuluan Indonesia sejak masa kuno. Angka 17 bahkan dianggap 'keramat' dalam tradisi kuno tersebut.

Jauh di masa lalu, bahkan sebelum Masa Hindu dan Budha, di Kepulauan Nusantara, masyarakat di masa itu percaya terdapat penguasa serba maha di alam raya ini. Penguasa itu sering disebut sebagai Sang Hyang Tunggal, atau juga Sang Hyang Taya. Sang Taya ini dilambangkan suatu kekosongan, karena kepercayaan tersebut beranggapan penguasa alam tunggal ini tidak dapat diserupakan dengan apapun, bahkan tidak dirupakan pula simbol sebagai patung atau arca sama sekali. Sang Tunggal atau Sang Taya ini menurunkan kekuatan sucinya yang bernama 'Tu' untuk menempel di benda - benda, yang akhirnya dianggap memilki kekeramatan. Misalnya: ba-tu (btw masa sekarang orang masih percaya 'akik'), tu - gu, tu-mbak, tu - ah, ra - tu atau da-tu (pemilik kekuatan untuk memerintah suatu negeri), tu - mpeng (di masa Islam, tumpeng menjadi sarana penyebaran ajaran Islam oleh Para Walisongo lewat Tradisi Selamatan, sekarang jadi simbol budaya orang Indonesia, terlepas suku atau agamanya). Termasuk di dalamnya angka - angka dengan kekeramatan. Angka yang dianggap memiliki kekuatan magis adalah angka satu, atau dalam Bahasa Kuno 'tu-nggal' (atau 'sa -- tunggal'), dan tujuh, dalam bahasa kuno 'pi-tu'. Menurut kepercayaan itu, angka satu dan angka tujuh ini, jika dipersatukan, menjadi kekuatan yang luar biasa, 'kadya kakiyatan ingkang edab- edabi'. 

Entah percaya atau tidak, hal ini seperti menjadi doa yang terkabulkan. Tentu saja, seluruh potensi kekuatan kita kerahkan untuk mencapai kemerdekaan, serta kemudian mempertahankannya. Saat Proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan, tidak sedikit pihak yang memperkirakan kemerdekaan Republik Indonesia hanya akan bertahan selama beberapa minggu saja. Tetapi, efek psikologi dari kepercayaan itu barangkali menjadi dorongan semangat luar biasa dari para pendukungnya. Sehingga Negara 17 Agustus yang diilhami 17 rakaat, 17 Ramadhan maupun Keramat 17 ini, sekali lagi barangkali saja, mampu bertahan sedemikian lama. Negeri yang kita proklamasikan di 17 Agustus 1945 itu pada akhirnya, tidak hanya berumur 7 atau 8 minggu sebaimana perkiraan pesimis beberapa pengamat, bahkan tidak pula 7 atau 8 tahun, tetapi sudah 78 tahun, Alhamdulilah, masih berdiri gagah, hingga hari ini.

Wallahu alam bishshawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun