Pekan kemarin, Senin 22 Maret 2021, publik nasional menyaksikan pertunjukan satu cabang olahraga. Olahraganya catur, yang barangkali tidak terlalu populer, dibandingkan misalnya sepakbola ataupun bulutangkis. Meski sifatnya ekshibisi, tapi banyak yang mengikuti berita, mulai awal buka, sampai acara utamanya. Bahkan topik ini sempat jadi ‘trending’ dan ‘viral’ di media sosial. Pertandingan catur persahabatan, antara jagoan dunia maya, Dadang Subur atau Dewa Kipas, menantang Grandmaster (GM) Irene Kharisma Sukandar itu, memang menarik untuk dicermati dan dikomentari dari beberapa hal.Â
Hal pertama adalah mengenai kekuatan media massa di era ‘online’ macam sekarang, yang jelas tidak bisa dianggap remeh. Setelah sukses mengguncang banyak ‘event’  serius macam dunia politik misalnya, seperti di Arab Spring 2010-an, kali ini kita melihat aplikasi serupa di gelanggang olahraga. Proses ‘build-up – fight’ - nya sangat bagus, boleh dikata elegan. Dimulai dari drama pemblokiran akun, adu pendapat di ‘podcast’, kemudian muncul promotor dan penyandang dana, hingga berlanjut ke pagelaran partai utama.Â
Semua dikemas sedemikian rupa sehingga mampu menyedot banyak perhatian. Skenario semacam ini mirip – mirip dengan apa yang ada di film – film, misalnya di Film Rocky I 1976, Rocky II 1979, ataupun Rocky Balboa 1986. Dalam dunia nyata pun, kita bisa temui hal serupa, misalnya seperti saat petinju Joe Frazier hendak meladeni tantangan Muhammad Ali di ‘The Fight of the Century’ 1971. Model – model pembangunan narasi semacam ini memang terbukti efektif menggalang perhatian publik.Â
Menurut catatan, pertandingan ekshibisi catur yang digelar melalui platform Youtube Deddy Corbuzier tersebut, disaksikan langsung secara online, tidak kurang dari 1.2 juta penonton. Angka ini fantastis, menurut banyak ahli termasuk oleh FIDE sebagai badan catur dunia, untuk suatu pertandingan catur bertajuk ekshibisi. Sebagai komparasi, pertandingan hari pertama antara Juara Dunia Magnus Carlsen  vs Fabiano Caruano di Kejuaraan Dunia 2018, ‘hanya’ mampu mendulang 130 ribu penonton saja, dari berbagai platform.Â
Berikutnya yang patut dicermati adalah masih tingginya di kalangan publik kita; mengutamakan emosional ketimbang rasional. Ini bisa ditunjukkan dari banyaknya porsi di kalangan netizen yang mengunggulkan sang penantang tanpa peringkat, yakni Dadang Subur, untuk dapat menumbangkan sang atlet nasional. Lewat jajak pendapat di dunia maya, dilakukan oleh Deddy Corbuzier sebagai pihak penyelenggara sebelum partai digelar, kira - kira 4 dari 5 responden menjagokan sang jagoan dunia maya untuk menang.Â
Keahlian, keistimewaan, atau ‘excellence’ hanya dapat diperoleh dari aksi ‘habitual’ atau kebiasaan yang dilakukan secara terus - menerus. Tentu, apa yang ditampilkan oleh Dadang Dewa Kipas, adalah hasil dari latihan dan pengalaman bertahun – tahun. Tetapi faktor ini, tentunya juga dimilki secara baik oleh GM Irene, yang notabene adalah seorang professional catur.Â
Jam latihan dan rekor bertanding GM Irene mestinya menjadi perhatian para pengikut berita. Tetapi hasil survey online itu menunjukkan alpanya sebagian besar netizen atau publik akan faktor - faktor tersebut. Kebanyakan memang dari kalangan publik berharap terjadi keajaiban. Ini barangkali diilhami cerita – cerita seperti halnya di film-film laga, kala sang jagoan tak dikenal, tiba-tiba mampu tampil hebat pada kondisi menentukan.  Sesuatu yang barangkali agak berlebihan untuk diharapkan dapat selalu terjadi di dunia nyata.
Secara tidak langsung pula, jajak pendapat tentang ‘bursa unggulan’ itu menjadi bukti akan rendahnya pengetahuan publik tentang olahraga catur. Pertandingan ekshibisi yang dimenangkan oleh GM Irene itu, dapat menjadi titik awal ‘update’ ensiklopedia pengetahuan catur di kalangan publik kita. Setidaknya dari sana, kita mengerti bahwa jagoan catur kita saat ini, misalnya sebagai contoh, adalah GM Susanto Megaranto, bukan lagi misalnya, GM Utut Adianto.
Prestise catur juga diharapkan dapat meningkat sebagai salah satu olahraga yang potensial. Selama ini sebenarnya catur sudah dikenal luas di kalangan rakyat kebanyakan sebagai olahraga atau permainan murah meriah. Di acara – acara kantor, ataupun saat  keramaian perayaan hari kemerdekaan, catur sering masuk daftar acara. Tetapi ya hanya sebatas itu saja. Belum banyak yang faham, bahwa olahraga ini dapat menjadi simbol prestise nasional. Uni Sovyet, misalnya di masa Perang Dingin, habis-habisan ingin mendominasi cabang olahraga ini. Mereka ingin membuktikan ke Dunia Barat, salah satunya lewat catur, kalau masyarakatnya punya intelektual lebih.  Kita pun dapat melakukannya, kalau kita mau, tentunya melalui pengelolaan yang baik.
Pendek kata, dari partai ekshibisi kemarin dapat banyak diambil pelajaran. Utamanya kemampuan menyebarluaksan informasi dan promosi akan potensi olahraga catur. Dari itu diharapkan catur menemukan tempatnya tersendiri di kalangan masyarakat. Lebih penting, catur dapat berkembang menjadi olahraga populer yang bergengsi, professional dan dapat menjadi lambang kebanggaan nasional. Tak kalah penting pula, adalah dapat diserapnya petuah orang – orang tua dulu, terbersit dari prinsip bermain catur, yaitu hidup dan bekerja pakailah otak, bukan otot, pergunakan akal, bukannya okol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H