Satu peristiwa penting terjadi pada awal tahun 1945, untuk kemudian sering dianggap sebagai salah satu prolog menuju Indonesia Merdeka. Peristiwa itu meletus tepatnya tanggal 14 Februari, sebuah hari yang di masa modern sering dikaitkan dengan perayaan di kalangan muda - mudi. Pada tahun 1945, 14 Februari merupakan ekspresi kobaran rasa patriotisme dari para pemuda di Indonesia melalui sebuah peristiwa yang dikenal sebagai Perlawanan Tentara PETA di Blitar.Â
Peristiwa PETA di Blitar tidak lepas dari gemuruh sengit Perang Dunia II. Sejak awal tahun 1943, cengkeraman dominasi Tentara Dai Nippon di Pasifik sudah mulai memudar. Kekalahan demi kekalahan di berbagai front menimbulkan keresahan serta kepanikan di kalangan elit militer Jepang. Di Jakarta, kepanikan itu berbuah suatu surat perintah yang dikenal sebagai Osamu Seirei No. 44, ditandatangani langsung oleh Gunseikan (Gubernur Militer), merangkap sebagai Panglima Tertinggi Tentara ke-16 Dai Nippon di Jawa; Jenderal Kumakichi Harada. Dokumen no.44 berisi perintah pembentukan organisasi paramiliter sukarela bernama Jawa Boei Giyugun, atau selanjutnya disebut pula Kyodo Boei Giyugun, diartikan dalam Bahasa Indonesia sebagai Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Sejak diresmikan pada tanggal 3 Oktober 1943, PETA menarik minat para pemuda Indonesia untuk menjadi anggotanya. Total terbentuk sebanyak 69 daidan (setingkat batalyon), dengan penugasan setiap satu daidan untuk satu kabupaten. Para calon perwira PETA mendapat pendidikan inisiasi di Bogor untuk kemudian disebar di berbagai kabupaten di seluruh Jawa. (Perkembangan selanjutnya dibentuk pula organisasi serupa PETA di Madura, Bali dan Sumatra).Â
Di Blitar, sebuah daidan dibentuk sebagai salah satu kesatuan yang bertugas di daerah Karesidenan Kediri. Para pemuda PETA Blitar, sebagaimana rekan-rekannya di daerah lain, menjalani pendidikan kemiliteran dengan sistem yang ketat. Pagi hari mereka sudah harus memulai latihan secara spartan, jauh hingga petang tiba. Selama pendidikan, anggota PETA tidak diperkenankan keluar dari barak pelatihan, baik untuk keperluan berkunjung atau sekadar berplesir. Informasi mengenai kejadian di luar tempat pendidikan umumnya didapat dari pemberitaan militer Jepang, yang dipenuhi propaganda dan indoktrinasi. Sekitar tengah tahun 1944, barulah para pemuda anggota PETA Blitar diperkenankan untuk pulang mengunjungi sanak saudara di tanah asal. Momen pulang kampung ini yang kemudian membuat para anggota PETA terbelalak melihat keadaan kehidupan rakyat yang sesesungguhnya. Semua fakta di dunia luar berbeda dengan apa yang telah diterima dari propaganda selama pendidikan.
Didapati oleh para tentara muda PETA, keadaan rakyat yang memprihatinkan. Berdasarkan bukti sejarah, kewajiban setor padi yang diterapkan Jepang, menyedot stok beras, dengan kisaran antara 60-70% dari hasil panen para petani lokal. Akibatnya, krisis pangan terjadi dimana-mana. Sebagian rakyat masih beruntung nasibnya untuk dapat mengonsumsi jagung, ketela, ubi atau singkong. Namun tak sedikit pula yang terpaksa memakan akar, rumput, pelepah pisang atau apa saja sebagai penahan lapar. Kondisi sanitasi yang memburuk membuat berjangkitnya wabah kolera dan disentri disetiap tempat. Sengatan malaria menambah derita rakyat kebanyakan. Tubuh kurus kering ditemui disana-sini. Sebagian nyaris telanjang hanya berbungkus kain kasar dari anyaman daun serta kulit pohon kelapa. Pengangguran menjadi pemandangan lumrah, pengemis berjajar di berbagai sudut menanti belas kasihan. Keadaan umum boleh dikatakan sangat menyedihkan.Â
Para pemuda PETA Blitar menemui kenyatan tambahan yang makin menyesakkan dada. Dari penuturan warga setempat diketahui terjadinya perampasan ternak dan telur yang kabarnya untuk bahan konsumsi anggota PETA Blitar selama pendidikan. Padahal sehari-harinya, daging dan telur hanya dinikmati anggota militer berkebangsaan Jepang. Hidangan terbaik bagi anggota pribumi/PETA hanya berupa nasi jagung. Perhiasan serta besi-besi milik warga desa dirampas. Tak jarang diikuti penculikan sanak – saudara atau kenalan mereka baik pria maupun wanita. Yang pria dikirim ke suatu tempat untuk menjadi pekerja paksa, sementara yang wanita berakhir nasibnya di markas tentara di kota besar, untuk menjadi penghibur perwira-perwira Jepang.Â
Goncang batin yang didapati anggota PETA Blitar semakin hebat, tatkala mendapat perintah bertugas menjadi pengawas dan pelaksana pembuatan sarana pertahanan di daerah Ngantang, Malang, serta di Pantai Selatan Blitar. Dalam melaksanakan perkerjaannya, pemuda –pemuda PETA dibantu oleh para pekerja paksa, romusha, yang direkrut dari desa-desa di seputaran lokasi proyek. Kekejaman dari mandor-mandor Jepang makin nampak jelas di mata para anggota PETA. Bentak, pukul, tendang, injak, pecutan biasa dilayangkan opsir-opsir Jepang kepada para romusha yang tinggal kulit dan tulang saja pada tubuhnya. Kematian  romusha merupakan pemandangan sehari-hari. Hari ini datang pekerja baru, hari itu pula ada kematian. Cerita - cerita dari saksi hidup pada masa tersebut menyebutkan jumlah kematian yang luar biasa di Kabupaten Blitar akibat kekejaman tentara pendudukan. Sehingga dapat dipahami jika suasana sedemikian membuat gusar para anak muda anggota PETA Blitar yang masih berusia antara 20-22 tahun itu.Â
Di tengah-tengah gejolak semacam itu timbul inisatif untuk melakukan perlawanan. Dimulai dari sebuah pertemuan singkat pada bulan September 1944, Shudanco (komandan peleton) Supriyadi berhasil mengajak rekan-rekan sesama anggota PETA Blitar, yaitu Shudanco Muradi, dan Shudancho Suparyono untuk memulai suatu gerakan. Ikut bergabung pula Halir Mangkudijaya, Sudarmo dan Sunanto yang masing-masing berpangkat Budancho (komandan regu). Menjadi penasehat dari gerakan tersebut adalah seorang dokter militer di Kesatuan PETA Blitar berpangkat Chudancho (komandan kompi), bernama Ismangil. Selama mengadakan persiapan Supriyadi dan Muradi merupakan tokoh paling aktif dalam melakukan koordinasi. Sempat pula Supriyadi menemui Ir. Sukarno yang pada suatu ketika, mudik menjenguk sesepuhnya di Blitar untuk diminta nasehat. Bung Karno pada waktu itu berharap Supriyadi dapat menahan emosi, sembari berpikir ulang mengenai gagasan serta rencananya. Sebab konsekuensi perlawanan mungkin saja dapat membahayakan pergerakan nasional secara umum. Amarah Supriyadi sempat turun beberapa saat, untuk kemudian meluap lagi setelah kembali melihat penderitaan di sekitarnya.Â
Hanya melalui beberapa kali pertemuan (beberapa sumber menyebut terjadi hanya 4 kali pertemuan, yang lain mengatakan sampai 6 kali rapat antara periode September 1944-Februari 1945), Supriyadi dkk akhirnya sepakat untuk melaksanakan niatan mereka. Sebanyak 360 pemuda dari Kesatuan PETA Blitar menyatakan dukungan, meskipun mereka tahu bahwa skenario pergerakan yang disusun masih belum sepenuhnya selesai. Tekad pemuda PETA Blitar semakin bulat, setelah terdengar kabar bahwa Polisi Militer Jepang, Kempeitai, mengetahui rencana Supriyadi dkk. Para pemuda itu berpikiran bahwa sangat disayangkan jika kemudian gerakan yang direncanakan tidak terlaksana karena keputusan yang tanggung. Â
Pagi buta tanggal 14 Februari 1945 pukul 03.00, Suprijadi memberikan instruksi kepada rekan-rekannya untuk bergerak. Tembakan dilepas dari senapan-senapan anggota PETA, disusul ledakan mortir dengan sasaran Hotel Sakura sebagai tempat tinggal para perwira Jepang, dan markas Kempeitai. Tapi rupanya rencana Supriyadi dan kawan-kawan sudah diantisipasi para intelijen Jepang. Hotel dan markas dalam keadaan lengang, tak terlihat opsir berpangkat tinggi disana. Pasukan PETA kemudian merebut gudang senjata dan merusak fasilitas komunikasi. Paling tidak 25 anggota militer Jepang sempat mereka lumpuhkan pada pagi itu. Pada babak selanjutnya anggota PETA berhasil mengganti Bendera Hinomaru di markas Jepang dengan Sang Dwiwarna, kemudian bergerak ke luar kota menuju hutan-hutan di lereng Kelud untuk menghindari serangan balik lawan.Â
Sebagaimana yang ditulis dari berbagai dokumen sejarah, amuk pemuda PETA pada akhirnya dapat diredam dengan bujuk rayu penuh tipu daya. Jepang tidak berkeinginan untuk berkembangnya skala kerusuhan, karena jumlah personel militer Jepang di Jawa sebenarnya sudah tidak terlalu banyak. Sebagian besar kekuatan Jepang telah dikirim ke berbagai wilayah pertempuran di Pasifik. Diusahakan sejauh mungkin agar proses pemulihan keadaan dilakukan dengan meminimalkan kontak senjata. Untuk itu ditugaskan perwira Jepang; Kolonel Katagiri sebagai pimpinan regu pengejar. Sebagai inti pasukan, Katagiri mengajak anggota PETA pribumi dari Daidan Blitar yang tersisa, ditambah bantuan dari Daidan Kediri.Â
Pasukan PETA yang saat itu dipimpin Shodancho Muradi, dimana Shodancho Supriyadi sudah tak diketahui lagi nasibnya, menghadapi keadaan sulit sebab yang mereka hadapi kebanyakan rekan-rekan dari bangsa sendiri. Apalagi rekan-rekan mereka di kubu Jepang juga tidak melakukan apa-apa, baik tembakan atau tindakan intimidasi lainnya. Regu pengejar bentukan Jepang hanya membujuk Muradi dkk untuk kembali ke barak. Dengan dijanjikan akan diadakan dialog dengan pimpinan militer Jepang, pasukan Muradi bersedia keluar dari hutan. Tetapi janji Jepang ternyata kosong belaka, dialog yang dijanjikan tak pernah terwujud. Muradi dan kawan-kawan langsung ditangkap dan disiksa habis-habisan oleh Kempeitai yang memang terkenal brutal. Sebanyak 66 pimpinan pergerakan dihukum di penjara militer Jepang. Diantara mereka, 4 orang meninggal karena siksaan di penjara. Sementara itu, pada akhirnya Muradi, Mangkudijaja, Sudarmo, Suparyono, Sunanto dan dr. Ismangil dihukum penggal di Jakarta, 16 Mei 1945.Â