Mohon tunggu...
Firman Kurniawansyah
Firman Kurniawansyah Mohon Tunggu... Guru - Pengajar di Surabaya

Pengajar di Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Renungan 14 Februari: Pembela Tanah Air

14 Februari 2016   06:39 Diperbarui: 14 Februari 2016   12:17 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekilas kisah dari peristiwa PETA di Blitar dapat menjadi contoh sebuah peragaan rasa kebangsaan yang tinggi. Para anggota PETA di Blitar sadar, bahwa meskipun mereka telah dididik  serta menjadi bagian dari Tentara Dai Nippon, tetapi semuanya tidak serta merta menjadikan mereka melupakan jati-diri asli sebagai Orang Indonesia. Penindasan, kemelaratan, dan kesengsaraan yang dialami saudara sebangsa membuat identitas nasional para anggota PETA terusik. Dan seperti yang terjadi, meski dengan rancangan dan kekuatan seadanya, serta resiko yang sudah sangat jelas yakni tertangkap atau dihukum mati, Supriyadi dan kawan-kawan berketetapan untuk mengangkat senjata.  

Perlawanan PETA Blitar 1945 akhirnya memang gagal secara fisik, dikarenakan persiapan yang teramat kurang. Perjalanan operasi militer yang terjadi bahkan boleh dikata cenderung sporadis tak beraturan. Hal ini karena pergerakan pemuda PETA Blitar tidak dipimpin perwira yang telah mendapat pendidikan cukup mengenai strategi pertempuran. Kerjasama dengan anggota PETA lain di daidan terdekat, semisal Malang dan Kediri belum pula terbentuk karena ketatnya pengawasan Kempeitai. Dari berbagai catatan dan dokumen dapat diketahui, Supriyadi, Muradi dkk sempat berspekulasi akan munculnya dukungan dari para anggota di daidan lain saat aksi baku tembak terjadi. Meluasnya perlawanan, diharapkan Supriyadi dkk dapat mempercepat terusirnya Jepang serta tercapainya kemerdekaan. Tetapi harapan itu tidak terlaksana, karena memang struktur organisasi sangat tidak memungkinkan untuk melakukan koordinasi secara cepat. Jepang sudah merancang organisasi ketentaraan PETA sedemikian rupa, sehingga diantara para daidan akan sangat sulit untuk menjalin komunikasi secara baik. 

Harapan Supriyadi dkk baru menemui kenyataan, setelah peristiwa perlawanan dapat diredam. Menyebarnya berita tentang PETA Blitar menjadi sebab terbentuknya satu tekad kuat dari para pemuda Indonesia yang tergabung dalam berbagai organisasi kemiliteran untuk menuju kemerdekaan. Sebelum PETA Blitar meletus, para anggota militer maupun para-militer Indonesia masih terbagi-bagi simpatinya. Sebagian masih pro-Sekutu karena latar belakang Hindia Belanda, sebagian pro-Jepang karena terbius propaganda Jepang sebagai saudara tua, sementara yang telah mendengar pidato-pidato tokoh nasional sudah  menjadi simpatisan kemerdekaan. Setelah Peristiwa Blitar, hampir seluruh anggota militer/para-militer semacam PETA dan Heiho, ataupun eks-KNIL menjadi pendukung terwujudnya Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. 

Tak bisa dipungkiri, Peristiwa PETA Blitar merupakan satu peristiwa penting dalam untaian sejarah perjuangan nasional. Sayangnya peristiwa ini sudah mulai dilupakan orang. Diakui atau tidak, gaung perlawanan PETA Blitar memang sudah tak lagi nyaring, meskipun belum hilang sama sekali. Paling tidak ini dapat dilihat dari banyaknya monumen-monumen PETA yang mangkrak, tak terurus dengan baik. Peringatan 14 Februari saat ini banyak berisi keributan karena masuknya 14 Februari versi asing yang memang lebih memiliki nilai komersial. Pada acara peringatan kemerdekaan pun, riwayat tentang PETA Blitar sering tertinggal dari agenda acara. Hanya sebagian kecil saja komunitas yang masih setia menyelenggarakan sarasehan atau diskusi-diskusi tentang peristiwa PETA Blitar. Semestinya kegiatan-kegiatan semacam itu masih dapat dilestarikan, sehingga semangat kebangsaan masih dapat dijaga keberadaannya. Sebab, rasa-rasanya, hanya semangat semacam itulah yang masih dapat dipergunakan untuk menolong kondisi penuh masalah dalam kehidupan kebangsaan saat ini. Yaitu semangat tanpa pamrih untuk suatu tujuan mulia, sebagaimana yang ditunjukkan secara gagah oleh para pemuda pemberani pada satu pagi pekat 14 Februari 1945, dalam tugasnya sebagai ksatria sejati pembela tanah air.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun