Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demi dan Untuk Kebaikan Bersama, Wahai Politisi Dadakan!

16 Januari 2024   09:47 Diperbarui: 16 Januari 2024   09:57 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: laut lepas Saleo

Aristoteles bilang begini, "Keahlian memerintah adalah satu hal, sedangkan memahami kepentingan rakyat adalah hal lain." Dalam politik untuk mencapai hidup yang baik butuh keduanya: keahlian memerintah serta memahami betul apa kepentingan rakyat. Keduanya tidak dipahami hanya dengan membaca sepenggal-sepenggal traktat teori politik atau karir politik orang-orang besar (apalagi dipaksa untuk mempertahankan kekuasaan), namun mesti mengalaminya dari bawah, mengikuti dinamika kemauan rakyat serta arus pasang-surut elite dan kekuasaan. Dan tentunya gagasan politik! 

Maka jika melihat muka-muka baru di baliho harusnya prasangka yang hadir di benak adalah "Karir politik macam apa yang telah dia lalui, yah?" Politik memang mesti dievaluasi berdasarkan gagasan dan karir politik seseorang, bukan karir titel, daftar aset, atau jabatan, atau siapa bapak-ibu-saudaranya. 

Saat mereka menang, kita taruh curiga; "Orang-orang baru yang datang antah-berantah kenapa bisa-bisanya memenangkan pertarungan kepentingan warga?"

Meski di antara kita mungkin saja ada yang tahu kenapa mereka memenangkan banyak suara pemilih; dengan menggunakan instrumen kekuasaan orang tuah kah atau kekayaan orang tua kah, atau kekuasaan dan kekayaan yang mereka miliki, kita tidak tahu. Yang pasti kita hanya bisa menduga tanpa bisa membuktikan prasangka itu. Tapi keanehan politik macam ini selalu saja terjadi; kita tahu ada yang salah tapi kita tidak tahu (atau ketakutan) untuk membuktikannya. 

Cerita Raskolnikov dan Porfiry dalam novel Kejahatan dan Hukuman karya Fyodor Dostoyevsky dalam pembuktian pembunuhan dengan sadis si Lintah Darat, Ivanovna, dan adiknya Lizaveta, menjadi alegori yang bagus bagaimana dugaan yang benar mendahului bukti. Meski Porfiry, si polisi penyelidik, telah yakin bahwa Raskolnikov, tokoh utama novel dan pembunuh Ivanovna dan Lizaveta, adalah pelakunya namun terkendala oleh pembuktian-pembuktian. Porfiry hanya menganalisa kejanggalan situasi, dan berdasarkan itu dia yakin bahwa Raskolnikov bersalah tapi tidak bisa membuktikannya. Pada akhirnya Raskolnikov mengakui sendiri di kepolisian perbuatan pembunuhannya karena tidak ada yang mampu membuktikannya.

Saya pikir sudah banyak yang membahas politik elektoral macam ini. Mulai dari tukar-tambah jabatan, ancaman jabatan, klientelisme, politik patron, politik dagang, transaksional, politik kekerabatan, kolusi, nepotis, dan rupa-rupa politik busuk. Ini telah jadi rahasia umum. Warga awam juga tahu ada yang tidak beres dalam iklim politik kita. 

Elit penguasa punya daya untuk membuat ancaman kepada warga, atau pejabat pemerintah di bawah kekuasaannya dengan instrumen apa saja. Termasuk ancaman dari dalam institusi. Dulu Althusser menyebutnya "aparatus represif negara" dan "aparatus ideologi negara" sebagai cara untuk memaksakan kepentingan penguasa. 

Format pertanyaannya begini: Apa betul semua warga yang ikut berpartisipasi dalam Pemilu karena niatan untuk menitipkan amanat perubahan dan amanat penderitaan rakyat kepada calon pemimpin atau hanya karena terpaksa dan ancaman? 

Tidak etis kita menyalahkan warga yang terpaksa dan terancam, apalagi dibayar. Ibarat jatuh tertimpa tangga pula; menjadi korban untuk kedua kalinya. Penguasa yang pantas kita tunjuk hidungnya karena menggunakan politik kebaikan rakyat menjadi politik tipu-muslihat. Politik macam itu tidak pantas dirayakan dengan sebutan "Pesta Demokrasi". 

"Warga yang menentukan, kalau warga mau memilih maka akan terpilih, kalau tidak maka tidak," kata mereka. 

Anda tahu peran Cambridge Analytica dan Facebook dalam kemenangan Donald Trump? Bahkan media juga bisa memainkan dan mengarahkan perilaku pemilih, apalagi pemilih pemula. Terlihat pilihan politik berdiri di atas kesadaran, padahal kesadaran memilih telah dimanipulasi melalui media terkenal. Zuboff menyebutnya kapitalisme pengawasan; karena kita telah terhubung, dan bahkan tergantung dengan media sosial, maka kita semua telah terawasi dan mudah untuk dikontrol. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun