Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Suara Perempuan dari Semaoen

3 Juli 2023   18:55 Diperbarui: 3 Juli 2023   19:01 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SEMAOEN. Nama yang jarang didengar dari obrolan kalangan aktivis mahasiswa. Dibanding Tan Malaka dan D.N. Aidit, Semaoen nyaris hanya sebuah nama, bukan sebuah sejarah protes dan sejarah pembangunan Partai Komunis Indonesia. Atau sejarah seorang bumiputra jelata yang mondar-mandir untuk mendorong zaman bergerak. Atau seorang yang pandai merangkai kalimat sambil menyelipkan kemarahan di dalam tulisan-tulisannya.

Saya mulai menyukai Semaoen dari novelnya, Hikayat Kadiroen (1919). Buku roman politik pada masanya. Menceritakan perjalanan seorang priyayi marxis yang begitu peduli dan berpihak kepada rakyatnya meski dia merupakan pejabat pemerintahan Hindia Belanda. Buku ini kebetulan saya dapatkan dari seorang teman yang kuliah di Surakarta -- terima kasih Dede.

Saya memilih buku Semaoen karena penasaran saja bagaimana seorang pejuang-pengorganisir rakyat berbicara melalui novel. Nyatanya dia memang penulis hebat! Tidak usah heran, Semaoen merupakan salah satu murid H.O.S. Cokroaminoto. Kelihaian menulis adalah kejelasan sanad. Selain itu pandangan Islamnya. Pandangan ini yang akan terasa di novel Hikayat Kadiroen.

Awalnya saya mengenal namanya hanya sepintas lalu; bahwa ia masuk Central Sarekat Islam di usia 14 tahun, lalu bergabung dengan Sarekat Islam afdeeling Surabaya. Terlibat langsung mengorganisir buruh kereta api Surabaya. Bertemu dengan Sneevliet, bisa dibilang mentor gerakannya, dan masuk Indische Sociaal-Democratische Vereeniging lalu ikut membangun Partai Komunis Indonesia.

Memang ketika mendengar nama-nama besar tokoh pimpinan gerakan kiri yang ada di kepala kita adalah sejenis orang-orang yang tegang terus dalam hidupnya. Orang-orang yang nyaris tidak punya cerita lain selain berkelahi gagasan, berpikir ketat, seolah-olah mereka yang lupa jadi manusia; manusia-manusia yang hidupnya tidak lentur. Padahal ada cerita lain, dan mungkin ganjil.

Anda pasti tidak percaya bahwa profesor filsafat moral sebesar Adam Smith dikenal sebagai orang linglung pada masanya. Pernah satu waktu Smith berjalan jauh keluar rumah sambil melamun dan masih dengan pakaian tidurnya lalu berhenti setelah berjalan sejauh beberapa mil ke arah kota. Marx yang seketat itu ternyata mengalami bucin dalam surat-suratnya untuk Jenny. Pasti ada cerita ganjil dan nyentrik. Termasuk mengapresiasi seni dan sastra.

Plekhanov, yang dikenal sebagai Bapak Marxisme Rusia, seorang revolusioner, ikut nimbrung dalam kajian sastra, khususnya pembacaan materialisme historis dalam karya seni. Lenin, pemeran di balik Uni Soviet, sangat suka dengan karya-karya Tolstoy bahkan membacanya ratusan kali. Lenin sungguh-sungguh menyukai musik, mendengarkan pertunjukan piano sonata Beethoven, Appasionata, beberapa waktu selepas Revolusi Oktober. Stalin yang terdengar diktator ternyata masa mudanya adalah seorang penyair lirik. Trotsky berupaya untuk mendidik selera artistik bagi kelas pekerja dan orang-orang kecil agar bisa mengapresiasi kesenian.

Artinya tokok-tokoh besar gerakan kiri juga punya cerita lain dan punya selera seni dan sastra. Urat di kepalanya tidak tegang dan beku. Seperti urat, lentur dan mengalir. Begitu juga Semaoen.  

Saat mulai membaca dan menikmati novel Hikayat Kadiroen, khususnya di Bab II, Jiwa yang Tergoda, saya merasakan betul bagaimana problem eksistensial yang coba diajukan oleh Semaoen melalui tokoh utama Kadiroen dan Ardinah. Di sini digambarkan bagaimana seorang muslim yang taat sekaligus komunis yang konsisten, dengan pikiran terbuka, hidup dalam keketatan dan ketegangan tradisi. 

Ketegangan mengemuka berupa posisi perempuan yang hidup di bawah keputusan laki-laki -- dalam kritik atas keindahan artistik sinema, estetikawan feminis Laura Mulvey menyebut laku objektivikasi itu sebagai "tatapan lelaki" (male gaze). Gugatan patriarki ini dimainkan oleh Ardinah ketika dia dijodohkan oleh ayahnya. Selain itu, drama pemuda yang sedang kasmaran, jungkirbalik perasaan, ikut menambah sisi manusiawi dialog Jiwa yang Tergoda.

Cerita ini dimulai saat Kadiroen yang sudah menjabat selama empat tahun menjadi Asisten Wedono di Onderdistrik Gunung Ayu, Hindia Belanda (semacam wilayah kecamatan). Kadiroen sangat dicintai oleh warganya dan warganya hidup makmur dari segi ekonomi. Namun, tak disangkanya, ada satu desa yang ditimpa kemiskinan, yaitu Desa Meloko. Kemiskinan Desa Meloko mengganggu tidur malam Kadiroen. Dia memutuskan untuk mengunjungi desa tersebut dengan tujuan mencari tahu apa yang membuat desa itu tidak makmur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun