Mohon tunggu...
Fiya Zulfa Nabila
Fiya Zulfa Nabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo saya Fiya Zulfa Nabila yang lebih akrab disapa Zulfa, saat ini usia saya sudah menginjak 19 tahun dan telah duduk dibangku perkuliahan smester 4 (empat,), saya menaruh minat besar terhadap seni dan sejarah oleh karena itu saya memilih Sejarah sebagai jurusan perkuliahan, selain itu saya juga turut aktif mengikuti organisasi baik internal maupun eksternal.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Istilah "Asian Value" yang Sempat Hangat Dibicarakan

20 Juni 2024   07:22 Diperbarui: 20 Juni 2024   10:21 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Baru-baru ini kata ‘Asian velue’ ramai diperbincangkan di beberapa media sosial, termasuk platform X yang menghasilkan lebih dari 100 ribu cuitan lengkap dengan foto telah diposting, hal ini mulai ramai setelah munculnya podcast di You Tube Total Politik, yang dibintangi oleh Pandji Pragiwaksono dan dipandu oleh Budi Adiputro serta Arie Putra dengan judul Pandji Pragiwaksono kaget sama jurus andalan Prabowo. Vidio ini tayang tepatnya pada hari Rabu 4 Juni 2024.

Secara harfiah Asian velue sendiri mengacu pada nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat Asia, seperti halnya mandi dengan gayung berbentuk love, makan mie instan dengan nasi, memarkir sepeda motor di ruang tamu, memasak dengan micin, dan juga toples wafer untuk kerupuk. Seakan-akan hal itu sangat melekat dengan masyarakat Asia terutama Indonesia.

Pada awal tahun 1990an, klaim mengenai manfaat Asian velue mulai menarik perhatian, terutama saat tokoh politik ternama seperti Lee Kuan Yew, mantan perdana menteri Singapura menyampaikan pandangannya. Klaim ini berlawanan dengan pendapat Barat saat itu yang menekankan bahwa runtuhnya komunisme di Eropa dan keberhasilan sosialisme pasar di Tiongkok telah menunjukkan superioritas hak asasi manusia, demokrasi, dan kapitalisme dibandingkan dengan model-model organisasi sosial yang bersaing. 

Pada akhir abad ke-20, konsep Asian velue juga mulai dikembangkan oleh sejumlah politisi Asia sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi politik Barat yang pada masa itu menguasai Asia. Pasca Perang Dunia II, konsep Asian velue semakin diperkuat di kawasan Asia Timur. Kesamaan budaya, terutama dalam hal warisan konfusianisme, menganggap bahwa model pemerintahan Barat tidak sesuai dengan realitas Asia Timur, di mana mayoritas sistem pemerintahan berbentuk kerajaan atau kekaisaran. Dalam konteks politik, Asian value adalah ideologi yang menghargai nilai-nilai yang membedakan Asia dengan politik Barat yang menekankan individualisme.

Lalu mengapa Asia velue turut dibahas di Podcast Total Politik  dan kemudia menjadi ramai dibicarakan? Disini kata ‘Asian velue’ digunakan oleh Arie Putra untuk menanggapi kegeraman Pandji Pragiwaksono saat membahas soal politik dinasti yang erat kaitannya dengan mewarisi kekuasaan ke keluarga. Menurut Arie Putra sendiri dinasti politik itu sangat wajar karena itu merupakan human rights jadi siapa saja berhak untuk mencalonkan dirinya sedangkan jika dilihat dinasti politik ini terbentuk untuk melindungi sesuatu bukan hanya sekedar memperpanjang masa jabatan.

Mendengar pernyataan Arie Putra, Pnadji pun berkata “Arie Putra Saying This?” desaknya. Arie mengelak dengan jawaban bahwasannya masalah dinasti politik ini pernah digugat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan gugatan tersebut diterima. Pandji juga sempat mengatakan dampak akan adanya dinasti politik salah satunya yaitu mampu menutupi indikasi kejahatan dengan memastikan tidak adanya perubahan dalam kepemimpinan.

Dalam praktik dinasti politik, sering kali anggota keluarga membagi kekuatan politik di dalam keluarga dengan cara salah satu anggota keluarga bergabung dengan partai lain untuk bersaing dalam posisi politik seperti Bupati, Gubernur, bahkan Presiden. Menurut A.G.N. Ari Dwipayana, seorang dosen ilmu politik dari Fisipol UGM, hal ini termasuk dalam neopatrimonialisme. Pada dasarnya neopatrimonialisme muncul dari tradisi sistem patrimonial yang menekankan regenerasi politik berdasarkan hubungan kekeluargaan daripada merit system yang menilai berdasarkan prestasi. Dwipayana menjelaskan bahwa neopatrimonialisme ini melibatkan penyatuan unsur-unsur patrimonial lama dengan pendekatan baru, dimana pewarisan kekuasaan tidak lagi dilakukan secara langsung tetapi melalui jalur politik yang terstruktur, terlebih melalui partai politik sebagai institusi yang disiapkan bagi keluarga elite politik. Dengan demikian, patrimonialisme ini tidak terlihat secara langsung tetapi terselubung di dalam kerangka prosedural politik yang kompleks dan rumit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun