Sedikit kita kembali mengingat perjuangan peristiwa yang tak kunjung tuntas hingga saat ini. Peristiwa yang menjadi tanda bahwa sila ke lima Pancasila tidak dijalankan dengan baik oleh para pemimpin bangsa. Kebijaksanaan seperti apa hingga kini tak kunjung nyata. Perlakuan yang tidak adil hingga intimidasi pun turut dirasakan warga Pakel, terkhusus para petani Pakel yang tiada henti memperjuangkan tanah sumber kehidupan mereka.Â
Dari tahun 1929 hingga tahun 2024, sembilan puluh lima tahun sudah para petani Pakel berhasil mengantongi akta izin tanah yang diberikan oleh pemerintah kolonial pada era sebelum kemerdekaan, namun mengapa hingga saat ini seperti orang asing di tanah sendiri?Â
Banyak lika-liku perjuangan yang dilalui para petani Pakel untuk mendapatkan hak atas tanah mereka. Pada tahun 1960-an warga Pakel mengajukan surat permohonan untuk bercocok tanam di Kawasan yang tertera pada "Akta 1929" kepada Bupati Banyuwangi, hal ini merupakan bentuk para warga untuk mendapatkan hak atas apa yang telah menjadi milik warga Pakel.Â
Setelah pengajuan surat permohonan izin, lantas apa yang terjadi? Apakah pemerintah akan menindaklanjuti? Kita semua tahu kinerja pemerintah kepada rakyat kecil seperti apa.Â
Surat permohonan tidak mendapat kejelasan.Â
Pada tahun 1980, Perusahaan PT Bumi Sari mengklaim tanah milik petani Pakel, mereka hanya mengantongi Hak Guna Usaha yang juga menguasai tanah tersebut. Adanya penindasan hingga eksploitasi semakin membuat api perjuangan warga pakel menggebu-gebu.Â
Lantas, kemanakah peran pemerintah?Â
Kasus ini terjadi dan tak kunjung henti, api perjuangan masih belum padam. Tepat pada tanggal 24 September 2024 dimana Hari Tani diperingati, warga Pakel menggelar aksi Reklaiming dimana setidaknya 800 warga kembali menduduki lahan yang telah dirampas oleh PT Bumi Sari.Â
Semua aksi perjuangan para warga Pakel tidak berbuah manis untuk pemiliknya. Mulai dari surat permohonan izin lahan untuk sekadar menyambung hidup, puluhan warga yang ditangkap atas aksi perjuangan, hingga adanya kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan negara kepada warga aksi. Bentuk audiensi atau diskusi dengan pemerintah pun telah berkali-kali digelar, namun tetap saja tidak menghasilkan sebuah keputusan. Pola seperti ini sudah sering kita jumpai jika berhadapan dengan pemerintah.Â
Bahkan banyak yang menyebut kasus ini sebagai "Konflik Warisan Orde Baru", apakah benar seperti itu?Â
Sekali lagi, kemakanakah peran kebijaksanaan pemerintah dalam menyelesaikan sebuah kasus?Â