Maka ketika Ibu Ainun meninggal dunia, kisah cinta mereka punya titik nilai jual seperti halnya Kaisar Mughal Shh Jahn untuk istrinya Mumtaz Mahal yang sampai membangunkan Taj Mahal.
Bisa jadi sih, dalam kebebasan berekspresi latar belakang Hanum sang jurnalis yang berpetualang ke belahan-belahan dunia ini menarik. Bisa jadi Rangga Almahendra sang dosen yang berjuang di bidang mengejar ilmu setinggi langit di Eropa bisa menciptakan titik-titik konflik penceritaan yang menarik.Â
Penulis sendiri yang pernah melihat filmnya 99 Cahaya di Langit Eropa, cukup puas dengan genre baru yang ditawarkan karena hiburan juga belajar sejarah. Film tak sekedar hanya soal orang baik vs orang jahat seperti layaknya film-film India hehe ..
Namun, mungkin yang salah "Hanum & Rangga" dipaksakan hadir di tahun politik. Dan Hanum sendiri bukan tokoh netral yang pasti juga setengah mati akan selalu berdiri di belakang Ayahnya.Â
Tak masalah sih sebenarnya soal pilihan politik. Seharusnya hikmah yang berserak, harus bisa dipungut dalam kisah apapun. Merekan penonton "A Man Called Ahok" tak perlu membully "Hanum & Rangga" beda genre, beda film beda selera, mengapa harus membandingkan kursi mana yang lebih rame ?
Ngeri sekali, kalau seni dibawa politik lalu diaduk-aduk soal keuntungan bisnisnya.
Karena untuk mendapatkan pesan kebaikan capek sekali kalau harus bertanya dulu "Kamu kubu Jokowi atau Prabowo ?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H