Dahulu, sekitar beberapa puluh tahun yang lalu. Pertumpahan darah terjadi di tanah yang subur dan kaya alamnya ini. Beribu-ribu ras dan suku, berjuta-juta manusia di berbagai pulau yang berbeda, tekad dan tujuannya satu. "Freedom for Indonesia, Merdeka untuk rakyat!!" ya, itu yang menjadikannya satu tujuan dan satu tekad.
Merelakan jiwa dan raganya mati untuk sebuah kebebasan, walau hanya melawan dengan bambu, namun senjata utama mereka adalah semangat. Si penjajah bisa membunuhnya dari kejauhan, sedangkan mereka harus membunuh si penjajah dihadapan matanya. Namun, apa yang terjadi? Panji-panji bambu ini bisa menaklukannya, walaupun banyak jatuh korban diantara mereka, nampaknya tidak ada yang sia-sia. Rakyat, serdadu, para pendiri bangsa, pemeran Nasionalisme, Agamaisme dan Komunisme, bersatu dalam kibaran Merah Putih, bertekad dalam cengkraman Garuda. Indonesia medeka!! Saat itu tlah diproklamirkan, kemudian menjadi sejarah revolusi besar.
Kini, selayaknya mereka di beri predikat "Pahlawan." Mereka yang telah gugur dalam perjuangannya itu, seharusnya dapat tertidur dengan tenang. Tanpa air mata, mereka yang telah gugur harus tersenyum melihat kebebasan kita. Namun apa yang terjadi?? Justru sebaliknya, orang-orang yang telah gugur itu tidak dapat tidur dengan tenang, tidak dapat memberikan senyumnya, mereka menangis. Kenapa? Melihat anak cucunya kini yang seharusnya menjaga dan meneruskan amanat mereka. Ironis bukan, kita terlena dengan kesenangan diri dan kesenangan kelompok. Sehingga tujuan itu menjadi berbeda, pecah dan esensi kemerdekaan pun tenggelam.
Penjajahan baru pun kini muncul dengan gaya barunya, imprealisme kapitalisme berkuasa. Menampilkan dirinya sebagai "Pahlawan kesiangan". Iming ini iming itu, diatas mimbar berkoar keras untuk rakyat dan demi rakyat, untuk bangsa dan untuk negara. Cuiih! Padahal, dia menjajah rakyatnya sendiri, membodohi dan memanipulasi. Aparat negara, telah menjadi tameng untuk melawan rakyatnya sendiri, membatasi ruang gerak dan membelenggu rakyatnya sendiri. Aset negara semakin habis, mengerucut keriput. Pada akhirnya dia telah menjadikan para pahlawan terdahulu menjadi "pahlawan yang terlupakan."
Maka dari itu, bohong jika si pahlawan kesiangan mengucapkan hari pahlawan untuk mereka yang dahulu gugur. Dia telah melukai mereka, dia telah melumpuhkan sejarah. "Oh bapakku, para pahlawan dan pendiri bangsaku. Maafkan jika aku belum bisa mewujudkan kembali kemerdekaan itu. Semagatku akan terus aku bakar, melawan mereka untuk kemerdekaan rakyat adalah totalitasku. Terimakasih, kau telah memberikan pelajaran untuk rakyat ini, kau telah menciptakan sejarah untuk bangsa ini." Terbayang baktimu, terbayang jasamu, terbayang jelas jiwa sederhanamu. Bernisan bangga, berkafan doa, dari kami yang merindukan orang sepertimu. Semoga Tuhan menempatkanmu di Surga. Amiiin.
citizen journalism, Selasa, (02/04/2013). (Fityan benz lenin)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI