Sudah lima tahun aku bekerja dikota besar ini, Jakarta. Setiap hari aku melihat gedung yang tinggi, jalanan besar yang setiap hari dipenuhi ribuan kendaraan. Permasalahan macet yang sampai sekarang masih menjadi permasalahan utama di kota ini.
Aku, bukan orang yang bekerja didalam gedung tinggi itu, aku juga bukan orang yang berada didalam kendaraan yang selalu terjebak dalam kemacetan itu. Aku hanya seorang manusia yang bekerja sebagai tukang Koran yang menjajakan daganganku ke kendaraan lain. Itulah aku…
Penghasilanku setiap hari tidaklah banyak, hanya cukup untuk makan sehari-hari. Terkadang untuk makanpun sulit.
Keinginan untuk mudik lebaranpun selalu pupus, karena keadaan ekonomiku yang masih semerawut, padahal aku sangat rindu ibu dan adikku. Ayahku sudah meninggal sejak aku masih duduk dibangku SD. Ibu menjadi tulang punggung saat itu. Sekarang, dengan penghasilanku seperti ini, aku belum bisa membahagiakan Ibu dan adikku.
Sudah lima tahun, aku tidak berjumpa dengan beliau. Aku tahu, berapa besar rasa rindu beliau untukku, dan begitupun aku. Aku selalu berharap, setiap hari raya tiba, aku bisa pulang. Begitupun hari raya tahun ini.
***
Aku sangat berterimakasih sekali pada Pak RT yang memberiku pekerjaan tambahan sekaligus bonus hari raya yang mungkin kata orang ini yang disebut THR. Aku bekerja sebagai tukang Koran dipagi hari, dan siang menjelang sore aku bekerja di rumah Pak RT, merenovasi rumahnya, karena sesudah hari raya, Pak RT akan menikahkan anak sulungnya, jadi mau tidak mau, rumah harus jadi setelah lebaran.
Pekerjaan yang memang sangat melelahkan, namun demi Ibu, demi adikku aku rela melakukan semuanya. Aku sudah berjanji pada Ibu, lebaran tahun ini aku akan pulang.
***
Masih teringat keinginan Ibu memakai mukena baru ketika sholat Idul Fitri nanti, namun sampai detik inipun aku belum mampu membelikannya. Namun aku yakin suatu hari nanti aku pasti bisa membelikannya untuk ibu.
Setiap hari aku banting tulang, dan beruntung aku mempunyai majikan seperti Pak RT yang sangat baik. Selain perhatian pada pekerjanya, Pak RT pun tidak hitung-hitungan waktu. Karena aku bekerja dulu sebagai tukang Koran, jadinya aku sering datang terlambat, tapi Pak RT tidak pernah memotong upahku.
***
Ini hari ke-25 puasa. Alhamdulillah uangku sudah terkumpul lumayan. Bisa membeli mukena untuk ibuku, dan bisa membeli pakaian baru untuk adikku. Senang sekali hati ini, walaupun untukku sendiri, aku tidak punya apa-apa. Tapi aku ikhlas, aku bahagia.
Aku memutuskan untuk mudik lebaran ke kampungku hari ini. Tepat di H-3 lebaran. Dari semalam aku sudah tak bisa tidur membayangkan indahnya pertemuan dengan ibu dan adikku nanti. Mukena untuk ibu sudah aku kemas, begitupun pakaian untuk adikku.
Baju sudah rapi, sepatu sudah ku pakai. Aku siap berangkat.
***
Aku buka pintu rumah, aku tak percaya dengan apa yang aku liat. Masih dengan wajah kaget. Bu Rahma, itu Bu Rahma, pemilik kontrakan. Sudah hampir tiga bulan aku menunggak. Aku tahu, kedatangan Bu Rahma pasti ingin menagih tunggakan kontrakanku.
Uangku? uangku memang cukup untuk bayar tunggakan itu, namun uang itu untuk ongkos mudik aku ke desa.
“Ibu, sudah beri kamu waktu yang cukup lama, tapi kamu malah diam saja, tidak ada usaha untuk membayar kontrakanmu yang sudah 3 bulan nunggak, sekarang ibu mau minta kamu bayar hari ini juga” kata bu Rahmi dengan nada marah
“Maaf bu, bukannya aku tidak usaha, namun aku minta kebijakan ibu, sesudah hari raya pasti aku lunasi bu, sekarang aku harus ketemu ibu di desa, sudah lima tahun aku tidak bertemu ibu.”jawabku memelas berharap hati bu Rahma bisa luluh.
Tapi ternyata semua nihil, Bu Rahma malah terus merampas uang yang ada dalam saku kemejaku. Uang yang akan aku gunakan untuk ongkos bertemu ibu.
***
Hatiku hancur ketika aku tahu bu Rahma pergi dengan membawa uang itu, ingin aku menangis, ingin aku berteriak. Uang yang mungkin sebagian orang hanya cukup untuk membeli pulsa, atau cukup untuk makan di mall tapi buatku uang itu sangat berharga.
Sekitar setengah jam aku hanya bisa terdiam. Air mata tak bisa aku bendung lagi. Yang terbayang wajah ibu dan air matanya kalau aku tak jadi pulang.
***
Akupun berniat untuk meminjam uang pada Pak RT, aku yakin beliau pasti memberiku pinjaman. Akupun pergi ke rumahnya yang tak jauh dari kontrakanku.
Sesampai didepan rumahnya aku melihat rumahnya sepi. Apa mungkin Pak RT juga sudah pergi mudik.
“Assalamualaikum Pak RT” aku setengah berteriak memanggil Pak RT
Satu, dua, sampai tiga kali aku memanggil, tak ada yang keluar. Hanya ada tetangga Pak RT yang keluar.
“Pak RT sudah mudik kemarin Nak, memangnya kamu ada perlu sama Pak RT yah, bukannya kamu mau mudik hari ini?” tanya tetangga Pak RT
Semakin sakit hati ini, sampai aku tak bisa menjawab pertanyaan Ibu itu. Aku langsung pergi dengan hati yang sangat miris.
Robb, aku tahu, tidak setiap keinginan itu akan menjadi kenyataan, tidak setiap usaha ini akan menghasilkan sesuatu yang diharapkan, namun Robb, aku percaya dan aku yakin, Engkau mengetahui keinginan hatiku saat ini. Tolong Robb, aku ingin mudik lebaran tahun ini. Tidak ada yang tidak mungkin jika Engkau sudah berkehendak, dan aku sangat yakini itu. Tolong aku….
Kata-kata itu yang berdesir dihati saat aku sudah merasa tak bisa apa-apa.
***
Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke kontrakanku. Aku lihat waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang. Ibu pasti menungguku, masih menungguku. Tapi sudahlah, aku coba untuk ikhlas.
Diperjalanan pulang ke kontrakan, aku dikejutkan oleh bunyi klakson mobil. Aku terdiam. Mata masih sembab karena air mata yang terus mengalir, aku melihat sosok orang yang aku kenal keluar dari mobil.
Ratna…itukah Ratna??
“Hai, Ahmad, kamu Ahmad kan?” tanya dia
“Iya…kamu Ratna? Ratna teman kecilku” tanyaku
“Iya, kamu apa kabar? lama tidak jumpa yah, kamu disini sekarang?sejak kapan?” pertanyaan Ratna langsung memborbardir kesunyian hatiku saat itu.
“Iya na, aku udah lima tahun disini.”jawabku
“Kerja? lha, sekarang mau kemana” tanyanya lagi
Aku ceritakan semuanya pada Ratna. Sekarang Ratna sudah sukses di Jakarta. Bekerja disebuah perusahaan dengan gaji yang besar. Ratna terlihat sangat sedih dengan kondisiku saat ini.
“Sudah Mad, sekarang aku antar kamu ke kontrakan untuk mengambil barang-barang untuk Ibumu dan adikmu, lalu kita mudik bareng, aku juga sekalian mau mudik, nanti aku antar kamu langsung ke rumahmu.” kata Ratna
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Doaku terkabul. Siapa sangka, tadinya aku akan naik bis ekonomi tanpa AC pulang ke desa, kini aku akan naik mobil mewah dengan AC yang dingin. Bukan itu saja, Ratna menawarkan aku untuk kerja diperusahaan tempat dia bekerja dengan gaji yang jauh lebih besar dari pekerjaanku sekarang.
Akupun jadi mudik lebaran tahun ini….
Terima kasih Robb, Engkau memberikan rejeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Andaikan waktu itu tidak datang Bu Rahma menangih uang kontrakan, mungkin aku tidak akan bertemu Ratna. Andaikan waktu itu Pak RT ada di rumah, mungkin akupun tidak akan mudik dengan mobil mewah ini.
Tapi itu hanya perandaian, yang pasti semua sudah diatur oleh-NYA. Semua sudah menjadi ketetapan-NYA. Terima kasih Robb, aku bahagia…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H