Mohon tunggu...
Fits Radjah
Fits Radjah Mohon Tunggu... profesional -

Keberpihakan saya jelas: menjadi sahabat dan saudara bagi mereka yang termarjinal, papa, mengalami ketidak-adilan. Saya suka membaca, "traveling", ngopi, dan juga nulis (ini kalau lagi "mood"); dan saya suka berteman dengan siapa saja: lintas "SARA" serta tidak peduli akan orientasi sex seseorang. Saling menghormati & jujur, prinsip utama saya dalam berhubungan. Salam Damai dari kota Malang, Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Seandainya Ajeng Mampu Mengatakan Tidak (Terinspirasi dari Sebuah “Kisah-Nyata” Seorang Perempuan Paruh Baya)

1 April 2011   15:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:13 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

#By Fits Radjah#Tiba-tiba sosoknya raib, bak ditelan gelombang tsunami; Sudah lebih dari seminggu ini gadis manis itu tidak pulang. Biasanya menjelang magrib dia sudah berada kembali di rumah orang-tuanya, seusai melaksanakan tugasnya sebagai seorang Pekerja Domestik / Pekerja Rumah Tangga (PRT) di rumah juragan yang berjarak kurang dari 1 Km saja dari rumah orang-tuanya itu. Kepergiannya begitu tiba-tiba, ya.... Tidak ada kabar, tidak juga berita.

Kedua orang-tua, saudara tua laki-laki dan perempuannyapun bingung, resah, bahkan cemas. Merekapun hanya bisa menduga-duga, apakah "Kehilangannya" kali ini (yang adalah untuk ke dua kalinya) beralasan serupa dengan yang sebelumnya. Kepergian yang pertama terjadi sekitar tahun 2006 yang lalu, dia raib selama 3 tahun ke dunia "antah-barantah", tanpa secuilpun kabar berita; saat itu usianya "masih" 19 tahun. Belakangan setelah dia kembali ke rumah (dari cerita pengakuannya), barulah keluarga mengetahui cerita sesungguhnya bahwa kepergiannya itu terjadi mendadak, tanpa terencana bahkan oleh dirinya sendiri; Saat itu dia dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya, dia dicegat, dipaksa dan diancam oleh pacarnya untuk ikut, dengan alasan untuk bersantai sejenak dengan "hanya" berkeliling kota dengan berkendara sepeda motor pinjaman sang pacar.

Rahajeng, ini nama pemberian orang tuanya ketika dia dilahirkan, 24 tahun yang lalu. Kerabatnya suka memanggil dia dengan Ajeng saja. Pendidikan formalnya "hanya" sebatas lulus SD. Ini bukan karena ketidak-mampuan akal-pikirannya (kognitif), ataupun karena kemalasan Ajeng, tetapi lebih karena ketidak-mampuan ekonomi keluarga. Dia adalah putri ke-4 diantara 9 bersaudara, dari seorang kepala keluarga yang berprofesi sebagai "penarik" becak! Ibunya adalah "pensiunan" PRT tanpa tunjangan bulanan.

Dalam keluarga ini "seolah-olah" telah terjadi "kesepakatan dan kemufakatan"  yang tak terucap bahwa kehidupan seusai lulus SD adalah menjadi tanggung-jawab pribadi lepas pribadi. Anak "tidak lagi berhak" untuk meminta kepada orang-tua, bahkan untuk keperluan sabun mandi sekalipun; Orang-tua TETAP menyediakan (sebagai bentuk Kewajiban orang-tua sampai sang anak memutuskan untuk berkeluarga sendiri), yaitu: tempat tidur (berbagi) / tinggal dan nasi putih; itu saja! Kebutuhan lain adalah tanggung-jawab masing-masing.

Pola hubungan antar keluarga ini secara tidak sengaja / terduga telah menciptakan sebuah bentuk "sungkan" / jarak antara masing-masing anggota keluarga untuk mengintervensi apa yang "dipikir dan dianggap" sebagai bagian dari hak individu. Bahkan orang-tua "merasa" tidak berhak (pantas) kalau harus menanyakan secara langsung ke yang bersangkutan mengapa anaknya pulang larut malam atau bahkan sampai tidak pulang ke rumah untuk waktu yang lama tanpa ada kabar berita. Rasa ini terbangun karena "ke-tahu-diri-an" orang-tua yang hanya membiayai kehidupan sang anak sampai pra-remaja. Dan sang anakpun "merasa" tidak wajib baginya untuk memberitahukan dimana gerangan keberadaannya selama ke-tidak-hadiran di rumah orang-tuanya, karena merasa kehidupannya adalah tanggung-jawabnya pribadi. Hubungan antar keluarga akhirnya bermuara dan "diukur" sebatas kontribusi ekonomi!

Niat untuk mencari ke rumah sang pacar putrinya (yang alamatnya tidak jelas, hanya berbekal nama Desa!) tinggal niat semata. Sekeluarga mereka sadar sepenuhnya bahwa untuk merealisasikan niat menemukan kembali putri mereka tersebut membutuhkan biaya yang bagi mereka tidak terbayangkan besarnya. Apalagi sampai detik inipun, ia hanya mengetahui nama panggilan yang pernah "keceplosan" disebut Ajeng untuk membahasakan pacarnya, karena sang "calon menantu" tidak (belum) pernah menampakkan diri apalagi memperkenalkan diri ke hadapannya.

Sebelum kepergian Ajeng yang ke dua ini, bahkan secara diam-diam, dia (sang ibu) meminta agar anak-anaknya (terutama saudara tua laki-laki Ajeng) untuk memantau keberadaan Ajeng untuk mengantisipasi hal serupa terulang. Karena dari dari gelagat yang "terbaca" oleh mata seorang ibu, Ajeng kembali berhubungan dengan sang pacar yang dulu pernah memperdayainya. Namun, dia "kalah" dengan kemajuan teknologi saat ini; Ajeng, dengan hasil jerih-payahnya sebagai PRT mampu memiliki "Hand-Phone" pribadi, dan sang ibupun semakin "terjauhkan" dari putrinya. Ajeng berkomunikasi langsung (secara diam-diam) dengan sang pacar! Ajeng, sekali lagi "termakan" rayuan, puja-puji sang pacar....... . Ajeng "lupa" dengan janjinya sebagai sang anak hilang yang kembali ke pangkuan keluarga!

Ketidak-berdayaan, kepasrahan akan nasib tergambar jelas di mata sang ibu! Dia hanya berharap semoga putrinya kuat dan sehat, sehingga mampu berpikir jernih dan bijak! Dia bahkan tidak berani dan mampu untuk membayangkan apakah kali inipun putrinya, Ajeng bernasib sama seperti kepergiannya yang lalu. Hanya beribu "mengapa" terlintas di benaknya. Apakah sang putrid terkasih, Ajeng harus "melanglang secara terpaksa" ke Batam kemudian ke Kaltim demi menunjang ekonomi sang pacar, seperti cerita pengakuan Ajeng saat menangis mohon ampun di atas pangkuannya sebagai seorang putri hilang yang baru kembali?! Haruskah raga Ajeng lagi-lagi dijadikan modal untuk kepentingan sang pacar? Sang ibu, hanya mampu meratapi nasib Ajeng; Berandai-andai jika Ajeng berani dan mampu mengatakan TIDAK pada sang pacar! Jika saja dulu dia berkesempatan mendidik dan melatih Ajeng untuk MENOLAK apa saja YANG TIDAK BERKENAN bagi dirinya; seandainya ........dan sejuta seandainya lainya....... .

Dan..... akhirnya dia hanya bisa berpasrah ke YMK; Dia tidak tahu apa itu Pemberdayaan Perempuan; Dia tidak mengetahui tentang Kekerasan Dalam Berpacaran; Dia tidak mengenal istilah Women Traficking; Bahkan dia tidak mengetahui bahwa ada Biro Perlindungan Anak dan Perempuan di setiap Kantor Kepolisian; atau juga tentang KomNas Perempuan, dsb, dsbnya.... .

Dalam DOA kepada Tuhan-nya, sebagai benteng dan pengharapan terakhir dirinya, Sang Ibu dengan lirih memanjatkanlah seruannya: Ya Gusti....., lindungi dan kuatkanlah putri saya! Sebelum ajal menjemputku, kuingin bertemu dan melihat putriku kembali dalam keadaan walafiat. Itu saja![010411]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun