#By: Fits Radjah# Minggu-minggu terakhir ini isu "Beras Impor" kembali ramai diperbincangkan. Thailand dan Vietnam yang selama ini menjadi negara pemasok beras impor bagi Indonesia sedang dilanda bencana [banjir], hal ini dipercaya akan berdampak pada jumlah produksi pangan mereka, yang tentu saja akan ikut mempengaruhi jumlah beras yang akan dipasok ke Indonesia .
Kebijakan impor beras dari negara Thailand dan Vietnam ini, oleh pemerintah dimaksudkan untuk memenuhi jumlah 'aman' ketersediaan stock beras Bulog (Badan Urusan Logistik) bagi pemenuhan kebutuhan pangan 237 juta jiwa rakyat Indonesia. Wakil Presiden, bapak Budiono, pada kesempatan peringatan puncak Hari Pangan Dunia tanggal 20 Oktober lalu di Gorontalo, mengakui bahwa kerawanan pangan masih menghantui Indonesia.
Ancaman "Rawan Pangan" di Indonesia bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Beberapa daerah di wilayah propinsi NTT yaitu di Kabupaten Sumba Timur misalnya, sejak pertengahan Agustus yang lalu, sebagian dari masyarakat di beberapa desa disana telah mengkonsumsi sejenis umbi-umbian [bahasa lokal: IWI] yang diambil dari hutan setempat, (lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/08/22/haruskah-menunggu-sampai-sumba-timur-somalia/). Memang "ironis" bagi sebuah negara agraris di daerah tropis dengan keuntungan komparatifnya seperti Indonesia ini, dimana untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya sendiri, pemerintah negara kita masih harus [dan terus] mengimpor beras.
Menurut UU no 7 tahun 1996 tentang Pangan dan PP 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan; Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yg tercermin dari tersedianya pangan yg cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Sementara FAO (1992) mendefenisikan Ketahanan Pangan adalah situasi dimana Semua orang dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif.
Ketidak-cukupan produksi pangan domestik (dalam hal ini beras) dikarenakan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia yang berarti jumlah permintaan akan beraspun meningkat, yang antara lain juga dikarenakan oleh macetnya upaya diversifikasi bahan makanan pokok non beras. Sementara disisi lain, produktivitas lahan pertanianpun (sawah) cenderung menurun yang mengakibatkan menurunnya produktivitas padi. Kecenderungan turunnya produktivitas padi ini dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain karena pengaruh iklim yaitu kekeringan, sementara banyaknya prasarana irigasi mulai dari saluran primer, sekunder, dan juga termasuk bendungan yang membutuhkan perbaikan sesegera mungkin. Kurusnya tanah sawah akibat penggunaan pupuk kimia yang berlangsung lama dan dalam jumlah yang terus meningkat; Serangan hama & penyakit tanaman padi, semakin memperburuk jumlah produksi padi yang dihasilkan. Di luar itu, kecilnya margin keuntungan usahatani beras yang tidak sebanding dengan peningkatan nilai kebutuhan hidup petani, ikut mempengaruhi minat petani dalam melanggengkan usahatani padi. Ditambah lagi semakin banyaknya lahan (sawah) potensial yang beralih fungsi ke non pertanian semakin memperburuk jumlah produksi beras domestik yang bisa dihasilkan.
James Mc Grane, Perwakilan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di Indonesia pada puncak peringatan Hari Pangan Dunia ke-31 di Gorontalo tanggal 20 Oktober yang lalu, yang bertemakan "Menjaga stabilitas harga dan akses pangan menuju ketahanan pangan nasional", mengatakan: dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari negara untuk mengatasi persoalan kerawanan pangan, termasuk diantaranya dengan meningkatkan investasi di bidang pertanian.
Kebijakan pemerintah yang sedang mengupayakan Kawasan Pangan skala luas (Food Estate) di Papua, Bulungan Kaltim, Bangka Belitung, Sumatra Selatan, Maluku demi terciptanya Ketahanan Pangan perlu untuk dicermati sungguh-sungguh, karena kentalnya Food Estate dengan Corporate Farming. Tentu saja kita tidak ingin terus terjebak dalam Food Trap, karena pada saat ini saja Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat besar ketergantungan pangannya dari luar negri (Food Trap). Saat ini Indonesia berada dalam status rawan pangan, bukan karena tidak adanya pangan tetapi lebih karena pangannya tergantung dari pihak lain, [per September 2011, impor beras Indonesia sudah mencapai 1.400.Ribu Ton beras -Kompas, 21 Oktober 2011-].
Kitapun sudah mengerti bahwa sejak jaman Kerajaan Sriwijaya dulu, berdasarkan pengalaman bahwa tanaman Padi secara geokultur paling cocok ditanam di pulau Jawa [60% Lumbung Padi nasional ada di pulau Jawa -Kompas, 22 Oktober 2011-], Bali, Sulawesi Selatan, dan beberapa wilayah di pulau Sumatra. Jangan sampai terulang kembali seperti pengalaman proyek 1 juta hektar sawah di Kalimatan Tengah yang gagal karena ketidak-cocokan lahan untuk tanaman padi.
Mengingat sejatinya pertanian tanaman pangan di Indonesia itu merupakan kegiatan yang didominasi oleh pertanian rakyat yang jumlah (petani)nya banyak, dengan skala usaha yang didominasi lahan kecil / sempit, maka kebijakan yang diambil pemerintahpun seharusnyalah untuk tetap memperhatikan dan berorientasi pada produktivitas pertanian rakyat. Mencegah Food Trap demi tercapainya Ketahanan Pangan Nasional jangan sampai hanya memfokuskan pada Food Estate yang kental dengan Corporate Farming saja dan meninggalkan kejati-dirian pertanian pangan Indonesia, yaitu pertanian rakyat.
Ketahanan Pangan Nasional tak akan tercapai jika Kedaulatan Pangan bagi rakyat itu sendiri tidak tercipta, karena kemampuan untuk memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri, menentukan jenis makanan yang dimakan, kebijakan pertanian yang dijalankan, kapasitas produksi [termasuk makanan lokal di tingkat lokal], serta distribusi dan perdagangan adalah hak semua orang termasuk petani. [FCR/26/10/2011]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H