Mohon tunggu...
Fitriyani
Fitriyani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

gw simple n apa adanya...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Dipaksa untuk Terpaksa (Part 1)

4 Juli 2012   16:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:17 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Awal cerita ini saya awali dengan kata maaf, maaf apabila judul cerita ini tidak semenarik ceritanya ataupun sebaliknya jika cerita ini tidak semenarik judulnya. Ini adalah sebuah kisah perjuangan bagi saya, buka cerita sesungguhnya. Hanya buah dari pemikiran yang tiba-tiba.

Sudah berulangkali, mungkin jika dijumlahkan sekitar seribu kali, sekali lagi mungkin. Saya sudah berulangkali berusaha memisahkan diri untuk tidak tinggal bersama dengan keluarga saya maupun dengan keluarga pasangan hidup saya, bahkan jauh-jauh waktu dari sebelum saya menikah. Membayangkannya saja terasa tidak enak. Iya kalau di keluarga sendiri mungkin terasa lebih menyenangkan, siapa yang tidak mau dekat dengan orang tua, bisa masih bermanja, berlindung atau bahkan menjaga mereka, membantu mereka sekaligus membayar segala jerih payah mereka waktu merawat saya dulu, walau jasa mereka tidak dijual.

Namun apa daya, angan dan segala mimpi itu tinggalah mimpi, aku adalah seoarang yang tidak mau melibatkan diri dalam segala hal yang bersifat dan berbau basa-basi. Aku hanya seorang pendiam yang apa adanya, jadi tolong jangan paksa aku tinggal bersama keluargamu. Rasanya menyesakkan, bukan karena keluargamu jahat, namun kebebasan itu begitu jauh dari gapaiku, rasanya seperti terkurung, semua yang aku lakukan harus penuh dengan sopan santun, jaga wibawa, berakhlak dan berbasa-basi sekedar mengobrol atau berpura-pura tertawa untuk suatu lelucon yang tidak jelas.

Dari awal segala rencana untuk mempunyai tempat sendiri walaupun hanya sekedar sewa, tidak apa. Aku juga tidak pernah mempermaslaahkan besar,kecil. Yang penting bersih dan nyaman untuk mai tinggali.

Sekarang aku harus tinggal berdesak-desakan dengan keluargamu yang terkadang selalu mencap aku pemalas walaupun sudah rajin, mencap aku sombong walaupun sudah ramah. Karena image datang dari permulaan bukan datang dari apa yang sudah berusaha aku perbaiki. Tuhan tolong aku, begitu inginya aku memiliki rumah atau tempat tinggal sendiri, apapun namanya.

Bukan karena miskin atau tidak punya uang, bukan juga karena tidak bisa sewa rumah atau membeli rumah, bukan juga karena keluarga kamu punya rumah hanya satu. Tapi terkadang keadaan tak mengijinkannya. Susah dan berat mencoba ikhlas tinggal berdampingan dengan keluargamu, dan terkdang kamu yang juga berubah karena terbawa arus sifat mereka yang selalu saja aku merasa seperti tidak nyaman. Tuhan... sekali lagi, bantu aku wujudkan segala inginku. aku hanya ingin bisa tinggal dengan keluarga kecilku dan berbahagia.

Orang tua kamu punya rumah sewa lebih dari dua, jumlah yang banyak bukan, meskipun tidak besar. Namun sangat pantas dan layak untuk ditinggali. Bahkan lebih dari cukup untukku. Tuhan... tolong kuatkan aku.

Aku dan pasangan hidup ku tercinta yang berhasil aku pengaruhi pun pernah menyewa sebuah rumah di pinggiran Jakarta, perjalanan jauh aku tempuh untuk sampai di tempat kerja, demi hanya untuk sebuah kebebasan yang menyenagkan untukku. Berbeda rasanya saat kami mengelola dan belajar untuk menyelsaikan segalanya tanpa harus mengadu, belajar untuk lebih mandiri. Tuhan... sakit dan ingin kembali kesana rasanya jika mengingat rumah sewa pertamaku. Entah ini kehendak atau sekedar ujian dari Sang punya Kuasa. Aku harus merasakan tinggal bersama dengan keluargamu yang cukup sangat baik hati itu, walaupun terdengar suara sumbang irinya kakakmu dengan keberadaanku yang selalu menjadi pemenang dari setiap pembelaan ibumu hanya karena aku mengandung buah cinta kita.

Lalu berlanjut hingga kakakmu pun akhirnya berpisah dinding dengan kita dan tinggal bersebelahan berbeda atap dengan kita. Ah agak sedikit dapat bernafas lega sejak perpisahan itu. Tidak lagi aku dengar suara keluhan yang bilang, kira-kira begini : "Ah kasihan rumah ibuku tidak ada yang membersihkan mengepel atau menyapu, ah kasihan ibuku harus cuci piring sendiri..."

Tuhan tolong aku lindungi aku darinya, kuatkan aku mendengar setiap ocehannya, dengan segenap hati aku berusaha untuk selalu dapat membantu, dengan perdarahan hebat yang aku alami selama kehamilanku yang entah karena apa, bekerja berat rasanya tidak mungkin bukan dari fisik, tetapi pikiranku rupanya telah mendatangkan penyakit ini. Tuha, aku ingi pulang... tapi kemana....????

Aku bernafas lega, kembali manjalani sisa hari yang di  anugrahkan Tuhan untukku. Aku mencoba menjalani setiap tanjakan yang datang dalam hariku, menata awal hidupku yang dahulu bahagia penuh dengan sukses. Hingga berhasil aku dapatkan kesuksesan itu dan kudapatkan pula jawaban dari do'a-do'a ku aku punya tempat tinggal sendiri, hadiah dari setiap bujuk rayuku mempengaruhi dia agar bisa menempati rumah sewa milik orang tuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun