Mohon tunggu...
Fitrur Rahman Albab
Fitrur Rahman Albab Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

Belajar untuk menulis, Menulis untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Filter Kecantikan: Dampaknya pada Citra Tubuh di Era Digital

19 Mei 2024   23:51 Diperbarui: 20 Mei 2024   00:23 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di era digital yang diwarnai dominasi media sosial,filter kecantikan telah menjadi fenomena yang tidak terpisahkan darikeseharian. Aplikasi seperti Instagram dan Snapchat menawarkan berbagai filteryang dapat mengubah penampilan seseorang secara instan, mulai dari menghaluskankulit hingga membentuk struktur wajah. 

Meskipun filter ini menjanjikan tampilanyang "sempurna", penggunaannya yang masif memunculkan kekhawatirantentang dampaknya terhadap citra tubuh dan standar kecantikan yang tidakrealistis.

Untuk memahami fenomena ini secara lebih mendalam,mari kita lihatnya melalui lensa teori masyarakat platform. Teori ini berfokuspada bagaimana platform digital seperti media sosial telah mengubah cara kitamemproduksi, mendistribusi, dan mengonsumsi informasi. 

Esai ini akanmenganalisis fenomena filter kecantikan melalui tiga konsep utama dalam teorimasyarakat platform: disintermediasi, tata kelola algoritmik, dan komoditasdata.

Disintermediasi merujuk pada penghapusan perantaratradisional. Dalam konteks filter kecantikan, platform media sosial telahmenghilangkan peran penata rias profesional dan editor foto. Siapapun kinidapat "mempercantik" diri mereka sendiri secara instan tanpa bantuanahli. 

Meskipun hal ini memberikan kemudahan dan kontrol bagi pengguna,disintermediasi juga mengurangi batasan antara realitas dan representasidigital.

Konsep kedua, tata kelola algoritmik, menjelaskanbagaimana platform menggunakan algoritme untuk mengatur konten yang kita lihat.Algoritme ini dapat secara tidak langsung mempengaruhi persepsi kita tentangkecantikan. 

Filter kecantikan yang menampilkan wajah yang mulus tanpa cacat,hidung yang mancung, dan rahang yang tegas akan diprioritaskan dan ditampilkanlebih sering. Akibatnya, para pengguna terpapar standar kecantikan yang sempitdan tidak realistis. 

Paparan terus-menerus terhadap image yang diedit ini dapatmenimbulkan perasaan tidak puas dengan penampilan diri sendiri dan keinginanuntuk mencapai standar kecantikan yang dinilai 'mustahil'.

Komoditas data adalah konsep ketiga yang penting.Platform media sosial mengumpulkan data yang sangat banyak tentang penggunanya,termasuk data demografis, minat, dan perilaku online mereka. 

Data ini kemudiandigunakan untuk menargetkan iklan dan konten secara personal. Dalam konteksfilter kecantikan, aplikasi dapat menganalisis data pengguna untukmerekomendasikan filter tertentu yang sesuai dengan "idealnya". 

Halini semakin memperkuat standar kecantikan yang artifisial dan dapat menjebak penggunadalam lingkaran ketidakpuasan terhadap diri sendiri.

Penggunaan filter kecantikan yang berlebihan diIndonesia menjadi contoh yang tepat untuk dianalisis. Media sosial sepertiInstagram telah menjadi platform utama untuk memamerkan penampilan diri, danfilter kecantikan digunakan untuk menciptakan citra diri yang"sempurna". 

Standar kecantikan yang dipromosikan di media sosialseringkali tidak sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia yang beragam.Akibatnya, banyak orang, terutama remaja dan perempuan muda, merasa tidak puasdengan penampilan mereka dan mengalami tekanan untuk mencapai standarkecantikan yang tidak realistis.

Meskipun teori masyarakat platform menawarkanperspektif yang berharga untuk memahami fenomena filter kecantikan, teori inijuga memiliki keterbatasan.  

Salah satu kritik utama adalah bahwa teori ini dinilaieurosentris, yaitu berfokus pada pengalaman dan konteks negara-negara Barat,dan kurang mempertimbangkan perspektif dan realitas dari negara-negara lain,terutama di Asia dan Afrika misalnya. 

Teori masyarakat platform dikembangkanoleh para akademisi di negara-negara Barat, dan banyak contoh yang digunakanberasal dari platform digital yang populer di Barat, seperti Facebook, Twitter,dan Google. 

Hal ini dapat mengaburkan realitas di negara-negara lain, di manaplatform digital lokal mungkin lebih dominan dan memiliki pengaruh yang berbedaterhadap masyarakat. 

Teori ini juga cenderung lebih fokus pada aspek negatifplatform digital, mengesampingkan potensi manfaatnya. Media sosial juga dapatdigunakan untuk mempromosikan citra tubuh yang positif dan beragam. Selain itu,teori ini mungkin terlalu menyederhanakan hubungan kompleks antara platform,influencer, dan pengguna.

Filter kecantikan telah menjadi fenomena yang tidakterpisahkan dari era digital. Teori masyarakat platform membantu kita memahamibagaimana platform media sosial mempengaruhi persepsi kita tentang kecantikanmelalui disintermediasi, tata kelola algoritmik, dan komoditas data. 

Namun,penting untuk memperhatikan keterbatasan teori ini. Solusi untuk mengatasidampak negatif filter kecantikan harus melibatkan peningkatan literasi media,promosi citra tubuh yang positif dan beragam, serta regulasi platform mediasosial untuk mengurangi dampak negatif dari algoritme dan praktik pengumpulandata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun