Keluarga sejahtera adalah idaman semua kekasih yang sudah mengikatkan diri dengan pernikahan. Siapakah yang tak bangga, besar hati dan bahagia tatkala duduk bersanding dengan kekasih tercinta dipelaminan. Terbayang seluruh perjalanan hidupnya, perjuangannya, jerih payahnya untuk mempersunting pujaan hati dan membawanya memadu janji ditengah kerabat, saudara, sahabat serta kolega. Namun tidak hanya terhenti disitu, perjalanan pernikahan baru mulai ketika mereka selesai melangsungkan akad yang sakral. Ketika hiasan-hiasan diturunkan, para handaitaulan pulang, bahwa mereka hanya tinggal berdua yang harus mengarungi rimba tak bertuan.
Hal yang tidak dapat dihindari yang akan selalu terjadi dalam setiap keluarga baru adalah gesekan-gesekan antara suami dan istri yang dilatarbelakangi karena perbedaan latar belakang dan pengalaman hidup. Dari perbedaan latar belakang dan pengalaman hidup itulah, kita harus mencari titik temu. Ketika ada permasalahan menimpa harus mampu mencari akar permasalahan dan akhirnya mampu menyelesaikannya dengan baik. Perbedaan-perbedaan yang dimiliki harus disikapi dengan saling memahami dan saling mengerti untuk saling mengisi.
Sebuah perbedaan yang tidak dipertentangkan akan mampu menjadi kekuatan yang membentuk sinergi baru. Tetapi tuntunannya adalah keterbukaan dan kemauan untuk berubah dan belajar serta menghargai orang lain dan kesetian pada institusi keluarga. Dan hal itulah yang harus dimliki setiap keluarga, karena tanpanya akan merupakankesia-siaan setiap usaha untuk membangun kehidupan yang lebih baik diatasnya. Da yang selalu menjadi pertanyaan adalah seberapa kesungguhan suami/istri mau menerima pasangannya dengan seluruh latar belakangnya, seberapa jauh suami/istri mau menyesuaikan diri dengannya serta seberapa dalam komitmen suami/istri untuk mempertahankan keluarga, Wibawa (2002: 9).
Untuk mencapai kesejarteraan keluarga, salah satu aspek yang penting adalah aspek finansial. Dimana aspek finansial akan menopang setengah perjalanan kehidupan rumah tangga. Mari kita saling bertanya kepada suami/istri apa yang menjadi cita-citanya, diskusikan, dan carilah titik temunya. Manakah cita-cita yang mampu untuk direalisasikan dan mana yang tidak. Singkirkan yang tidak, dan mari capai bersama-sama cita-cita yang mampu diwujudkan. Â Â
Jika sudah ditemukan cita-citanya, mari mulai rencanakan, mana yang terlebih dahulu ingin dicapai. Tuliskan rencana finansial keluarga itu, misalkan: 1. Kebebasan kebutuhan rumah tangga, 2. Kebebasan kebutuhan tempat tinggal, 3. Kebebasan perlindungan keluarga, 4. Kebebasan kebutuhan pendidikan, 5. Kebebasan pensiun, 6. Kebebasan finansial. Lalu tuliskan kapan target pencapaian rencana finansial keluarga tersebut dan berapa lama jangka waktu yang kita miliki, Wibawa (2002: 13). Dengan gambaran finansial yang rinci tersebut kita akan mempu memperkirakan kapan kita akan sampai pada target pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
Dengan gambaran rencana finansial tersebut kita bisa memulai saat ini, mengumpulkan dana dari gaji yang kita miliki, sedikit demi sedikit kita tabung atau bisa juga dengan asuransi bersama bumiputera, dengan itu akan memudahkan kita, mulai dari asuransi jiwa, pendidikan, kesehatan dan masih banyak lainnya. Dengan adanya asuransi akan membuat hati kita lebih tenang, karena ketika ada sesuatu yang tiba-tiba terjadi kita tidak akan kebingungan karena ada bumiputera. Asuransi dengan bumiputera juaga bisa sebagai investasi dan tabungan, membantu meminimalkan kerugian, dan juga membantu mengatur keuangan. Degan begitu akan memudahkan kita mencapai rencana finansial tersebut dan keluarga akan sejahtera bersama bumiputera.
Namun kesejahteraan keluarga tidak berhenti pada aspek finansial saja, ada aspek-aspek lain yang juga harus terpenuhi. Batin adalah inti dari sebuah kebahagiaan, jika perasaan batin sudah terpenuhi dan merasa puas, maka sejatinya disitulah letak kebahagian yang sejati. Kaya harta belum tentu membuat orang bahagia, tapi kaya hati akan membuat setiap orang harmoni. Aspek batin menjadi hal yang paling mendasar untuk menetapkan letak kebahagiaan, maka dari itu untuk menciptakan kebahagiaan harus dimulai dari hati.
Kebanyakan orang terjebak pada materi, mereka ingin kaya, sehingga cenderung mengejar uang, padahal uang bukanlah esensi dari kekayaan, untuk itu sehingga mereka menjadi kaya yang rapuh. Esensi kekayaan itu bukan uang tapi batin, jiwa yaitu kehidupan itu sendiri. Siapa yang hidupnya yaitu jiwa dan batinnya kaya ia akan kreatif, dinamis, banyak sahabat, produktif, inovatif, murah hati, tekun, sabar, dan lain-lain. Selagi kita masih mengejar uang makaitu masih semu, tapi kalau kita sudah dikejar uang maka itu realita kekayaan. Wibawa (2002: 19).
Jujur saja kebanyakan orang masih terlena kepada uang sehingga terfokus pada hal itu saja. Padahal kebagaiaan yang haqiqi terletak pada batinnya. Jika batinnya menerima setiap keadaan yang ada maka ia akan tetap bahagia dalam keadaan bagaimanapun. Kesederhanaan dan penerimaan penuh adalah kunci untuk hati yang bahagia. Wibawa (2002: 19)  mengatakan jika kamu belum punya  maka pakailah apa yang kamu miliki, dan pada saat kamu punya maka milikilah yang paling baik. Ini mengajarkan bahwa kita harus melihat benda dari fungsinya dan tidak pernah terjebak pada aksesorisnya.
Mari kita berbenah terhadap diri kita, memahami mana yang semu dan mana yang esensi agar kita tidak terjebak pada hal yang menipu, sehingga kita akan mampu membangun keluarga sejahtera lahir batin.
Â