Dimana semua berawal....? bahkan untuk melontarkan statement akan berkonotasi samar dalam menjelaskan. Adanya permulaan segala suatu hal, berawal pada perkiraan. Ikhtisar untuk menemukan “inti sari” selalu berakhir pada kosa kata “pro-kontra”. dikarenakan terlalu banyak diobservasi menggunakan metodelogi, sekiranya menjadi teori yang dirilis dalam Al-kitab ilmiah karya pujangga dunia... padahal jawaban yang sebenarnya berselimut pada Ketetapan-Nya, semua itu bernaung dalam sebuah sayembara, buru-memburu kunci jawaban dari-Nya. Bahkan hingga tetes terakhir rasa peluh yang jatuh seraya meratap dengan sendu...., terlontar dalam bait-bait do'a...... tak kan ditemukan. Lantaran isyarat kode etik ketuhanan tak kan teruak, hingga tiba waktu penayangan film bertitle “Hari Pembalasan”. Yang selalu mereka utarakan akan kepastian adanya Timbang-Menimbang Pahala dan Dosa atas perbuatan apa saja yang mereka kerjakan.
Hari ini Kutemukan diriku sendiri dalam hinggar-binggar keduniawian, selama ini hanya sebagai makhluk anomali yang kesejatiannya bahkan tidak bisa ku temukan diri ini siapa....??
Bermoral tak etis, sebagaimana norma yang telah ditata sedemikian rupa, oleh mereka para ahli bidang tata krama. Bagaimana seharusnya dalam bersikap menyesuaikan statifikasi golongan masyarakat... Di sisi lain, mereka begitu tenggelam dalam kehidupan dengan landasan ideologi, yang menurutku hanya membuat semua menjadi lebih runyam, lantaran kebebasan ditiadakan hanya bersifat tertulis dalam Peraturan Negara. Untuk itu diperlukan juga penyeimbang dalam konteks Spritual Quotient. berupa keyakinan dengan perantaranya adalah agama. Namun kusadari tingkatan spiritual dasar yang masih mudah saja belum terealisasi. Belum ada jerih payah usaha yang dituangkan dalam sebuah tindakan nyata. Hanya sebatas teori yang selalu angkuh menginginkan hakikat kebenaran sejati.
Hinggar-bingar dunia terdengar begitu bising di telingga. Rutinitas sehari-hari yang menjemukan selalu kuturuti, lantaran ketakutanku untuk menemukan siapa diriku. Mengebiri perasaan sendiri, dibalut secarik nafsu yang terlanjur mengebu. Kebusukanku bahkan tertuang dalam tindakan yang begitu ambigu. Dalam setiap tindakan berlandaskan keinginan yang bersifat narkotika. Semuanya membuatku merasakan efek plasebo. Candu itu.... hanya sesaat terasakan. Setelahnya kosong ku didalam, rapuh tak berhaluan, bahkan setiup angin pun aku dapat di terbangkan.
Rasa Dahagaku tak kunjung terpuaskan... Dehidrasiku bahkan mencapai tingkat yang tidak bisa ku ukur dengan logika. Ibarat dikata
“Aku merasa Dehidrasi disebuah tempat dimana bisa saja aku mengalami Hipotermia”.
Keabsurd-an itu hanya sebuah Prosa. Dinding Keras hati ingin ku runtuhkan, karena kinerja hati hanya menghasilkan peluh. Hasrat yang tak kunjung reda semua berisikan nestapa, lara, gunda-gulana. Ketidaksetujuanku akan tingkah laku masyarakat dengan peradabannya kian hari makin tak terkendali.
Sesekali mencoba Meretas semua fenomena dengan Keerotisan pola pikirku yang kaku... malah membuatku terjebak...
Pada saat yang belum ku ketahui kapan itu akan datang... dan mengilhami serta mengamini Bualanku... bermunajatlah bibir tipis ini dengan komat kamit yang berbunyi :
“Bagaikan Daun Oak yang gugur di derasnya Sungai Missisipi, hanyutlah saja...... dan Ombang-Ambingkan semaunya. Hingga Muarakan aku pada Sang Hyang Widhi-ku. Kan ku temui Dia seraya memberikan petuah,,, bagaimana alur harmonisasi yang seharusnya".