Pegon menurut Kromoprawirto berasal dari kata Jawa 'pego' artinya ora lumrah anggone ngucapake yang berarti tidak lazim melafalkannya. Hal ini adalah karena secara fisik, wujud tulisan Pegon adalah tulisan Arab, tetapi bunyinya mengikuti sistem tulisan Jawa, hanacaraka.
Abjad pegon jumlah hurufnya memang bukan dua puluh delapan seperti huruf Arab melainkan dua puluh, sama dengan jumlah dan urutan huruf Jawa, hanacaraka.
Oleh karena itu, urutan huruf Pegon sepadan dengan alfabet Jawa (Titik, 2009: 274). Secara sederhana pegon adalah huruf atau tulisan berbahasa Jawa yang ditulis dalam teks Arab (hijaiyah).
Penggunaan Aksara pegon tidak lepas dari perkembangan masuknya Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Masyarakat Islam di Jawa, terutama kalangan Islam tradisional sebagian besar sangat mengena huruf Pegon dengan baik. Huruf ini sangat popular pasca masuknya Islam ke Nusantara. Namun belum diketahui secara pasti kapan aksara pegon ini mulai digunakan.
Dalam dunia pendidikan, khususnya di pesantren. Penggunaan Bahasa Arab pegon masih dipakai untuk memaknai kitab-kitab. Berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya yang memakai bahasa Indonesia untuk bahasa mayoritas.
Di perguruan tinggi misalnya, tulisan arab pegon dipelajari pada waktu mata kuliah tertentu. Dan tidak sering digunakan sebagaimana di pesantren.
Jika di pesantren, selain untuk memaknai kitab, sebagian besar tulisan pegon juga digunakan untuk menulis keterangan yang disampaikan guru di dalam buku. Maka dalam buku-buku keterangan dan buku mata pelajaran mereka mayoritas menggunakan aksara pegon.
Aksara pegon yang dipakai tidak hanya memakai bahasa Jawa. Akan tetapi juga memakai bahasa Indonesia. Terkadang tulisan pegon antara satu murid dengan murid yang lain berbeda. Karena memang tidak ada ketentuan baku dalam penulisannya. Hal itu juga menurut pengetahuan dan kebiasaan penulisan pegon mereka.
Tulisan-tulisan pegon sendiri berfariasi, dari tulisan pegon klasik hingga kontemporer. Namun saat ini, kebanyakan di pesantren-pesantren menggunakan aksara pegon kontemporer, (meski tekadang masih bahkan campuran).
Sudah jarang sekali aksara pegon klasik digunakan, karena memang pegon klasik lebih sulit untuk dibaca dari pada aksara pegon modern atau kontemporer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H