Sulit bagiku menerima ini semua. Penyesalan selalu berada diakhir cerita, ketika semua telah menjadi nyata. Tiada kesempatan bagiku untuk mengulang kembali apa yang telah terjadi. Semua telah berlalu dan hanya meninggalkan perih dihati. Mungkin dari cerita ini , aku bisa berbagi cerita mengenai arti sebuah kesetiaan cinta yang tak bisa dinilai dengan apapun didunia yang fana ini.
Aku bukanlah seorang pria yang setia. Aku telah buta akibat sebuah cita-cita. Cita – cita untuk memiliki apa yang pasangan lain punya, yaitu Buah cinta kasih , yang akan melengkapi arti dari sebuah pernikahan. Alhasil pada akhirnya aku menjadi salah satu yang salah dalam mengartikan makna sebuah cinta. Setelah sekian tahun perkawinanku, kehadirannya yang dinanti - nanti tak kunjung datang jua. Ya….Sang buah hati pelengkap hidup kami. Semua jalan telah ditempuh namun tiada tanda-tanda sekalipun bagi kami untuk segera memilikinya hingga akhirnya aku mengenal Zahara. Gadis yang telah menggoda hatiku untuk mewujudkan cita-citaku melalui cinta yang lain selain annisa istriku. Walaupun berat akhirnya annisa , istriku menyetujuinya walaupun kutahu hatinya pasti terluka namun bisikan hasrat itu begitu kuat, menutup mata hatiku sehingga aku menjadi buta dan salah dalam mengambil arah.
Hari demi hari berlalu, sejak janji kedua dalam hidupku terucap untuk Zahara, namun hal yang samapun terjadi , semua kandas dan tidak terwujud secara nyata. Hal ini sangat berat membebani jiwa dan pikiranku sehingga aku merasakan sesuatu yang aneh dalam diriku. Tiba-tiba kesadaranku berkurang dari hari kehari dan akhirnya akupun tertidur dan terpenjara dalam alam mimpiku. Setelah itu aku tidak tahu apa –apa lagi mengenai dunia ini.
Berbulan-bulan aku terpenjara dalam ketidaksadaranku itu, namun yang ku tahu setelah hari itu hanyalah suara lembut yang seakan-akan memanggilku untuk kembali ke alam nyata. Suara yang lembut, tulus dan mampu menggetarkan alam mimpiku. Suara yang jauh namun begitu dekat dihatiku, Aku terus berlari mencari dan terus mencari sumber suara itu. Aku seakan berada dalam sebuah labirin yang sangat luas . Belakangan setelah aku sadar dari tidur panjangku , Dokter mengatakan bahwa diriku mengalami koma akibat beban pikiran yang terlalu berat sehingga aku mengalami gangguan pada system otakku.
Ketika aku sadar tiada siapapun disampingku. Namun sungguh menyedihkan bagiku manakala seorang suster perawat mengatakan padaku bahwa tadi malam istriku, Annisa telah meninggal dunia saat menungguku dan menjagaku disini. Suster mengatakan bahwa istriku Annisa, jarang tidur karena selalu menjagaku setiap hari. Sedangkan ia tahu bahwa dirinya mengidap kanker hati namun ia tetap setia menjagaku sampai tak ingat waktu untuk beristirahat sekalipun. Sungguh terharu dan tanpa kusadari air mataku menetes mendengar cerita suster itu. Suster itu mengatakan bahwa Istriku Annisa selalu memanggilku dengan bisikan ditelingaku untuk menyadarkanku dari komaku. Seketika usai mendengar itu, kepalaku pusing dan langsung tak sadarkan diri lagi.
Seminggu kemudian aku baru sadar kembali dan akan tetapi kali ini ada Zahara disisiku. Aku berusaha bangkit namun dokter melarangku dan mengatakan padaku supaya aku menjaga kondisi psykologiku karena bila aku pingsan lagi dikhawatirkan aku akan menderita amnesia permanen. Zahara tersenyum padaku , lalu aku bertanya “ Dimana Annisa ? “ dan Zahara mengatakan dengan lembut , “ Istirahatlah mas, nanti bila kesehatanmu membaik aku akan menceritakan semuanya…”, sambil menyelimutiku kembali dan mengelus keningku, namun air mataku tetap membias dipelupuk mataku.
Sebulan kemudian, akhirnya kesehatanku benar-benar pulih. Beberapa hari lagi Dokter mengizinkanku untuk pulang , namun tetap harus selalu control setiap minggunya. Saat hari itu tiba Zahara membawaku ke Pusara Annisa. Aku tertunduk malu didepan Pusaranya dan air mataku menetes seakan penuh sesal karena tak sempat mengucapkan terimakasih atas pengorbanan cintanya, betapa hinanya diriku didepan nisannya. Ya hari ini seorang pria yang tak setia memegang janji cintanya, telah bersimpuh didepannya yang tak lagi ada didunia ini, yang ada hanya jasad yang terkubur dibawah taburan bunga melati , tempat peristirahatan terakhir manusia di dunia yang fana ini.
Lalu Zahara memecah lamunan kesedihanku, “ Mas , sudahlah…. jangan engkau buat Annisa bersedih di alam sana….. , ini ada surat dari Annisa untukmu …..dia menitipkan ini sebelum ia berpulang mas….”, Tangan Zahara menyodorkan sebuah surat beramplop warna putih. Lalu kuraih dan kubaca dengan tangan gemetar seakan Annisa hadir dihadapanku.
Assalamualaikum , Wr , Wb
Alhamdulillah , kuucapkan syukur hari ini atas karunia Allah untuk suamiku. Aku yakin saat mas membaca suratku ini , mas sudah dalam keadaan sehat seperti yang kuimpikan dan kunantikan selama ini.
Mas Gunawan yang kucintai, mungkin saat mas membaca surat ini aku sudah mendahuluimu meninggalkan dunia fana ini, namun izinkan terlebih dahulu aku memohon maaf bila ada kesalahanku sebagai istri dalam pengabdianku padamu selama ini.
Mas Gunawan, suamiku, janganlah bersedih apalagi menumpahkan air mataku dipusaraku kelak. Aku mau mas hadir dipusaraku dan tersenyum padaku , supaya aku puas bahwa pengorbananku tidak sia – sia selama ini.
Mas Gunawan yang sangat kucintai, Aku yakin sekarang Zahara ada disampingmu, aku telah meminta padanya untuk menjagamu sepanjang hayatmu kelak. Walaupun diriku bukanlah dirinya namun anggaplah itu sama. Lanjutkan kehidupan ini dengan berbahagia wahai kekasih hatiku, sampai saatnya tiba kelak , manakala Allah memberikan batas waktu pada ciptaan-Nya. Aku kan menantimu kelak di pintu surga untuk bersamamu kembali dan juga bersama Zahara. Sampai jumpa Suamiku , aku takkan mengucapkan selamat tinggal padamu karena aku tahu , aku tetap dihatimu.
Wassalam
ANNISA
Kucium surat itu, sebagai tanda rinduku pada Annisa , Istriku. Lalu kuusap nisannya dan kukatakan , ” Annisa ….. maafkan aku ….”, hanya kata itu yang dapat meluncur dibibirku dan kemudian aku memberikan senyumku pada pusaranya sesuai amanat suratnya itu. Terdengar nada panggilan handphone dari dalam tas Zahara, lalu Zahara mengangkatnya. “ Mas ada telepon dari Rumah Sakit katanya ada yang ketinggalan di sana, kita diminta mengambilnya katanya penting.” Zahara menyadarkan lamunanku. “ Baiklah , Mari kita kesana …!”, Jawabku. Setelah berdoa akupun pamit pada pusaranya lalu beranjak meninggalkan komplek kuburan itu.
Sesampai di Rumah Sakit, kami langsung dihampiri suster yang pernah menceritakan perihal istriku, Annisa, saatku pertama tersadar dari komaku dulu. “ Maaf Pak Gunawan , bisa saya bicara empat mata dengan anda ? “, Tanya suster itu santun. Aku hanya mengangguk dan mengikuti suster itu keruangannya, hanya berdua dengan suster itu. Ia mengeluarkan buku dari dalam tasnya , “ Pak Gunawan , saya menemukan ini dibawah kasur tempat tidur anda”, kata suster itu sambil menyerahkan buku bersampul biru, mirip notes bentuknya, lalu suster itu melanjutkan , “ Maaf saya membaca beberapa halamannya, karena saya tidak tahu siapa yang punya tetapi sepertinya buku itu adalah Diary milik istri anda, Ibu Annisa”. Tertegun aku sesaat karena belum pernah selama ini kulihat istriku menulis sesuatu dibuku sejak kami menikah dulu. Kubuka lembaran pertama :
Annisa , begitu mereka memanggilku , sebuah nama indah pemberian ibuku atas kelahiranku. Namun kebahagiaan itu tak sejalan dengan kehidupanku yang selanjutnya yang penuh akan cobaan sebagai seorang wanita. Wanita yang menjadi sebagai pintu gerbang kehidupan buah cinta, bagi pasangan manusia ciptaan Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Melalui diary ini , aku akan berkeluh kesah mengenai kisah hidupku yang selalu diombang ambing oleh ganasnya gelombang kehidupan. Kehidupan yang mungkin tak pernah kubayangkan apalagi kucita-citakan , namun Tuhan telah menggariskan demikian dan aku sebagai manusia tak berhak untuk bertanya mengapa , melainkan hanya bersyukur dan yakin bahwa semua itu ada hikmahnya. Walaupun hikmah itu kita dapatkan manakala kita telah tiada.
Tahun demi tahun berlalu sudah. Buah cinta yang kami nantikan kehadirannya tak kunjung datang jua. Lelah kami mencoba, berbagai macam cara telah kami tempuh namun Tuhan belum juga berkenan memberikannya , walaupun hanya lewat tanda – tanda sekalipun. Ya Allah , kukan tetap sujud pada-Mu, walaupun ujian – Mu ini begitu berat bagiku. Keikhlasanku kan selalu beriring dengan kesabaranku untuk menjalani takdir- Mu , Ya Tuhanku yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Betapa sakitnya diriku , manakala berita itu bagai petir mencambuk nyawaku. Suamiku , yang kucintai …. akhirnya tak mampu untuk sabar dan mencari jalan lain ke Roma, dan takluk dalam godaan cinta yang lain. Cinta yang baginya akan membawa angin surga, yang menjanjikan sebuah jalan untuk melahirkan putra keturunannya. Hingga saat yang kutakutkan itu terjadi dan aku tak kuasa menolaknya, walaupun harus berurai air mata , ku ikhlaskan dirimu untuk memaduku dalam pelabuhan cintanya.
Mendadak kepalaku pusing, lalu aku mengatakan pada suster tersebut.” Kepalaku sakit sekali…Suster, mungkin saya harus menginap lagi hari ini dirumah sakit ini”. Mendengar keluhanku, Suster itu segera memanggil dokter. Oleh dokter aku disarankan untuk kembali beristirahat di Rumah Sakit tersebut. Atas ijin dokter tersebut aku diijinkan untuk kembali beristirahat dikamarku yang terdahulu, saat aku koma dulu dengan alasan bahwa kamar itu lebih tenang. Zahara menghampiriku dan aku memintanya untuk kembali esok hari karena aku ingin istirahat tenang hari ini. Aku hanya pura-pura tidur saja saat itu , manakala semuanya telah meninggalkanku kembali kubuka buku Diary miliki Annisa , Istriku. Kulanjutkan halaman demi halaman :
Dear Diary……mungkin hari ini dan seterusnya , hanya dirimulah yang akan mendengarkan curahan hatiku. Tiada yang ku percaya lagi didunia ini selain engkau ….. Diary dan pena sahabatku, yang setia dan tak pernah berdusta. Lewat tulisanku dihalamanmu, itulah curahan hatiku yang takkan terucapkan pada suamiku yang tercinta, yang terkasih , yang telah mengikat diriku dalam pelabuhan cintanya. Mungkin suatu saat engkaupun akan bercerita padanya namun kuharap tetaplah setia padaku , wahai Diary kesayanganku,
Suamiku …….banyak yang akan kusampaikan padamu namun tak kuasa bibir ini untuk mencurahkan kata hatiku padamu. Sehingga aku hanya menuliskan kata-kata hatiku di Diary ini, karena aku yakin diary ini tidak akan bersuara seperti bibirku saat ini, biarlah kucurahkan semua di buku ini agar aku dapat berkeluh kesah tanpa membuat luka dihatimu.
Wahai suamiku yang tercinta……….mungkin tak ada yang mampu kuberikan padamu. Hidupku ibarat sesuatu yang hampa tanpa buah cinta kasih kita yang hadir dalam pelukanmu. Namun hanya kesetiaanlah yang mampu kuberikan padamu hingga maut menjemputku kelak dikemudian hari manakala saat itu tiba.
Wahai suamiku yang terkasih ……Mungkin sakit ditubuhku ini tak sebanding dengan sakitnya hatiku ini ketika engkau memberi madu padaku. Mungkin bila aku tidak mengingat Tuhan…… sudah kulepaskan raga ini meninggalkanmu , akan tetapi cinta ini begitu buta bagiku. Biarlah telinga ini mendengar , akan tetapi butakan mataku ntuk melihat dirimu bersanding dengannya.
Wahai Suamiku kekasih hatiku ...... hari ini sudah ada keikhlasan di hatiku. Namun kuharap Tuhan masih membutakan mataku melihat dirimu, bergandengan tangan dengan dirinya. Oh...suamiku mengapa engkau mengikat erat hatiku seperti mengikat bahtera di pelabuhan cintamu hingga aku tak mampu untuk melepaskan pautanmu yang begitu kuat dari diriku. Akan tetapi kumohon tetaplah tersenyum padaku , jangan engkau menatapku seakan-akan aku tak mampu karena hanya Tuhanlah yang tahu betapa kuatnya kesetiaan cintaku pada dirimu.
Sebulan telah berlalu, aku terbiasa sudah kini wahai suamiku . Walaupun luka hatiku tak kan pernah sembuh, namun kini telah mengering seiring keringnya air mataku, meratapi nasipku yang malang ini. Suamiku tahukah engkau betapa kuatnya cintaku ? Seandainya engkau dapat menyelami hatiku maka engkau akan menemukan kekuatan cintaku yang tertanam kuat di dalam sanubari hatiku yang terdalam. Walaupun pelabuhan cintamu telah berbagi dengan tambatan bahtera lain, namun bagiku takkan mengurangi kadar cintaku untuk mengabdi padamu.
Wahai Suamiku, pujaan hatiku ……sudah tiga bulan ini penyakit itu bersarang ditubuhmu. Dirimu bagai hidup di alam maya dalam pandangan mataku. Nafas lemahmu seakan enggan untuk menarik udara didalam tabung penyambung hidupmu. Tapi dihatiku engkau tetap pujaan hatiku , walaupun hingga waktu menghadirkan malaikat maut ntuk menjemputmu.
Wahai Suamiku, pemilik hatiku ..... Kini aku sendiri mendampingi dirimu. Bundaku telah meninggalkan dunia fana ini, bahkan ayahkupun seakan tak ingin berpisah lama dengan bundaku, beliau juga menyusul mendampingi bundaku disisi pusaranya. Kanda akankah kita bahagia seperti mereka atau sebaliknya ? Namun yang pasti ku kan tabah mendampingimu walaupun dirimu hanya terbujur kaku dihadapanku.
Wahai Suamiku cahaya cintaku....... Sakit didadaku tak kunjung sembuh dari hari ke hari. Lemas seketika saat aku mendapatkan berita mengenai penyakitku ini. Kanker telah menyelimuti hatiku , mungkinkah diriku akan mendahuluimu atau kita kan bersama menyongsong lorong waktu menuju pintu akhir kehidupan yang fana ini ? Hmmm.......tidak suamiku biarlah semua hartaku habis hanya untuk mengobati dirimu, aku akan berkorban padamu. Warisan orang tuaku hanyalah untukmu , kan kucari dokter yang terbaik untukmu , kan kucari obat yang termujarab bagimu, aku takkan pernah menyerah suamiku.
Wahai suamiku pendamping hidupku …….. banyak pria yang telah menawarkan cintanya padaku, namun jiwaku bukanlah milik diriku lagi tapi milik engkau, suamiku sehingga tak mungkin lagi bagiku untuk berbagi cinta dengan yg lain, tiada yang mampu untuk membuat diriku berpaling dari cintaku padamu, namun tak sedetikpun aku ragu tentang kekuatan cinta kita, walaupun engkau membagi cinta dengan bunga yang lain namun engkau tetaplah pemilik jiwa dan hatiku, oh.. sayangku.
Wahai Suamiku, cintaku yang abadi ……. betapa bahagianya diriku hari ini Tuhan telah mengabulkan doaku dalam sembah sujudku pada-Nya. Ku harap penantian panjang ini akan berakhir dengan senyum diwajahmu. Pupus sudah kemarau dihatiku …..sadarlah…..sadarlah dari tidur panjangmu aku kan terjaga menantikan detik detik itu.
Wahai suamiku …oh…sayangku…….. bangunlah , waktuku tak panjang untuk menantikan kebahagiaan ini. Bukalah matamu ….. dengarkanlah bisikan lembutku ditelingamu…..bangunlah…..aku kini telah dikejar waktu , maut sudah mengetuk didepan rumah kita, menantikanku untuk kembali kepada Tuhan dan takkan kembali di sisi hadapanmu.
Suamiku……mungkin inilah keluh kesah terakhirku, rangkaian kata yang akan mengakhiri semua perjalanan hidupku. Aku kan membawa cinta ini , menjadi memory yang abadi selamanya dihatiku, sekalipunpun tubuhku nanti bercampur dengan tanah disamping pusara ayah dan ibuku. Maafkan aku suamiku bila aku tak mampu memberikan pengabdianku sepenuhnya untukmu hingga akhir hayatku, namun aku akan bahagia bila engkau terus melanjutkan hidup didunia ini. Gandenglah tangannya di sisimu……..kini aku tersenyum bahagia menyaksikannya, tidak seperti dulu saat keikhlasan belum memeluk hatiku ini. Sayangku…………….”Aku Sangat Mencintaimu”
Kututup Diary itu. Diary yang berisi curahan hati, Annisa, istriku. Teriris rasanya hatiku usai membaca curahan hatinya yang terekam lembar demi lembar di diary kesayangannya itu. Hanya penyesalan yang kini hadir dihadapanku , karena aku telah berdosa menyia-nyiakan cahaya yang selalu menerangi hidupku, cahaya yang tak pernah lelah menjagaku, tak pernah mengeluh berkorban untukku. Tak kuasa diriku membendung air mata ini untuk tumpah membasahi pipiku lagi. Tak ada kata yang mampu menggambarkan secara rinci betapa perih dan menyesalnya diriku saat ini. Kucium diary itu dan tanpa sengaja tanganku merasakan seperti ada kertas yang terselip disampul belakangnya. Ya….itu adalah surat tulisan tangan dari Annisa, istriku. Tulisannya begitu kabur seperti terkena tumpahan air namun masih bisa untuk dibaca. Lembar pertama berisikan surat Annisa yang ditujukan kepadaku yang diberikan Zahara di saat kami berziarah ke Pusara Annisa. Isinya persis sama dan kini kupahami mengapa surat itu ada dua, ada perbedaan dengan surat yang sebelumnya karena surat yang ini begitu banyak tulisan yang kabur, mungkinkah karena air matanya begitu deras saat menulis surat ini pikirku, sehingga terlihat kaburlah tulisan dilembaran itu. Oleh karena itu maka Annisa menyalinnya ulang untuk dikirim padaku. Lalu ku balik kertas itu sama kaburnya namun ada isi yang berbeda. Isinya tentang surat yang ditujukan untuk Zahara, kemudian kubaca dengan seksama :
Assalamualikum wr.wb
Sebelumnya aku memohon maaf padamu. Mungkin dirimu tidak berkenan menerima suratku ini. Namun dengan kerendahan hati aku memohon padamu , kembalilah pada suami kita. Tak lama lagi dia akan sadar …… dokter telah mengatakan bahwa syaraf-syarafnya telah kembali membaik. Terapinya berhasil, kini tinggal menunggu saat-saat kesadarannya.
Zahara , maduku yang baik, jagalah suami kita dengan baik. Berikanlah kasih dan sayangmu padanya, sesungguhnya dia adalah orang yang lemah hatinya , jangan biarkan ia memikul sendiri kehidupan ini.
Zahara, mungkin waktuku tak dapat menantikan dirinya, saat ia bangun dari tidur panjangnya. Hadirlah disini, di Rumah Sakit Harapan Insan, ia juga menantikan kehadiranmu dalam mimpinya.
Zahara, bila Tuhan telah mendahului menjemputku sebelum kebangkitannya dari tidur panjangnya itu. Aku memohon padamu gantikan aku untuk mengatakan bahwa “ aku sangat mencintaimu, wahai suamiku “, walaupun kalimat itu akan terucap dari bibirmu tapi katakanlah dengan lembut dan penuh cinta kasih dan wakilkan aku untuk menciumi tangannya sepanjang hidupnya.
Zahara kutitipkan padamu sepucuk surat untuk suami kita manakala aku telah tiada , berikanlah padanya ketika ia sudah benar-benar sembuh dan sampaikan maafku karena menitipkan surat ini padamu karena aku tak dapat mendampinginya dan memberikan pengabdianku seumur hidupnya
Terimakasih Zahara, aku dan dirinya menantikan dirimu untuk hadir disini, untuk kita bersama lagi.
Wassalam
ANNISA
Termenung aku seketika, Betapa luar biasanya dirinya padaku yang mengorbankan segalanya untukku. Untuk pria yang selayaknya tak patut mendapatkan karunia cinta sebesar ini. Aku tertunduk malu pada diriku sendiri dan hatiku berkata , “ Annisa Istriku……..Aku sangat mencintaimu…aku takkan melukai cintamu untuk kedua kalinya, cukuplah sudah semua ini …. mungkin aku hanya ditakdirkan untukmu…wahai Annisa, Istriku yang tercinta. Kuraih pena disudut meja dan kutulis semua apa yang telah terjadi tentang hidupku bersamanya di halaman selanjutnya.
Lalu diakhir paragraph kutuliskan :
Cinta....Ungkapan hati dalam bentuk untaian mutiara kata. Lama aku bertanya dihatiku tentang arti sebuah cinta. Arti Cinta bagi seorang Annisa, " Cinta yg tak terbagi namun sanggup untuk berbagi ". Cinta yang tak biasa ..... cinta yang tak mengenal lelah dalam pengorbanannya. Itulah cinta yang sejati dan terukir indah dihati pemiliknya. Benar sekali itulah cinta istriku yang terkasih , yang telah mengorbankan segalanya demi diriku, namun tak sempat bagiku untuk membalas semuanya karena waktu tidak berpihak padaku. Tapi aku yakin hingga akhir hayatku nanti aku kan selalu menjaga kesetiaan cinta ini. Annisa, Istriku, aku akan menyonsong lorong waktu itu. Aku melihat dirimu berdiri didepan pintu rumah kita menyambut kedatanganku. Lalu kupeluk dirimu dan aku berkata , “ Aku Sangat Mencintaimu…………………………………………………………….”
Zahara menutup buku Diary itu. Gunawan telah meninggal tadi malam. Ia menderita stroke hebat hingga mengalami pendarahan di otaknya, namun ia berhasil menyelesaikan tulisannya dibuku Diary itu. Lalu Zahara menuliskan sebuah judul didepan buku itu “ Diary Kesetiaan Cinta “, lalu dibawahnya “ Untuk cinta yang abadi selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H