Dalam sistem politik, kekuasaan seharusnya menjadi alat untuk mewujudkan janji-janji pengabdian kepada masyarakat. Namun, realitas politik sering kali menunjukkan fenomena yang berbeda. Banyak politisi yang, setelah meraih posisi strategis, lupa pada komitmen mereka terhadap rakyat. Kekuasaan yang semula dijanjikan untuk melayani justru berubah menjadi tujuan utama, mengorbankan kepentingan publik demi ambisi pribadi atau kelompok.
Fenomena ini tampak jelas dalam pola perilaku elit politik yang lebih fokus pada mempertahankan kekuasaan dibandingkan memenuhi kebutuhan rakyat. Janji-janji seperti pengentasan kemiskinan, perbaikan pendidikan, atau pembangunan infrastruktur sering kali terabaikan begitu pemilu berakhir. Sebaliknya, sumber daya negara digunakan untuk memperkuat posisi politik melalui praktik korupsi, nepotisme, atau manipulasi sistem hukum.
Salah satu penyebab utama dari perilaku ini adalah kurangnya mekanisme pengawasan yang efektif. Ketika politisi merasa tidak ada konsekuensi signifikan atas pengabaian janji mereka, kecenderungan untuk berfokus pada kekuasaan semakin besar. Selain itu, sistem politik yang cenderung pragmatis mendorong banyak aktor politik untuk memprioritaskan kepentingan jangka pendek, seperti memenangkan pemilu berikutnya, dibandingkan membangun kebijakan yang berkelanjutan.
Namun, tidak semua kesalahan sepenuhnya berada di tangan para pemimpin. Rakyat juga memiliki andil dalam situasi ini. Rendahnya kesadaran politik, apatisme, dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam mengawal jalannya pemerintahan memberi ruang bagi politisi untuk bertindak sesuka hati. Banyak masyarakat yang hanya aktif saat pemilu, tetapi tidak terlibat dalam mengawasi realisasi janji-janji kampanye.
Untuk mengatasi politik kekuasaan yang melupakan pengabdian, diperlukan reformasi mendasar. Pertama, sistem politik harus memastikan transparansi dan akuntabilitas. Laporan kinerja pejabat publik harus mudah diakses dan diawasi oleh masyarakat. Kedua, penegakan hukum terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan harus dilakukan tanpa pandang bulu. Ketiga, masyarakat harus terus diberdayakan untuk menjadi pengawas aktif yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Kesimpulannya, kekuasaan dalam politik semestinya menjadi sarana untuk melayani, bukan tujuan utama. Ketika pemimpin lupa pada janji pengabdian, mereka bukan hanya mengkhianati rakyat, tetapi juga merusak kepercayaan terhadap sistem demokrasi. Diperlukan komitmen bersama dari pemimpin hingga rakyat untuk mengembalikan politik pada esensi utamanya yakni melayani masyarakat demi kebaikan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H