Di kala senja itu, kukisahkan keharuan dalam pesisir hati yang tak bertepi dalam penjara suci.
Kupandangi langit yang mulai menghitam oleh pekatnya awan kelam. Aku melihat ada secercah peluh yang terus meremas pada mendungnya jantungku. Mengeluh di sepertiga malam dan bercinta cukup berdua dengan Tuhan di atas sajadah biru. Butiran airmata membasahi tangan yang tengah mengadah pada pangkuanNya. Kerlingan mata terpojok pada ejaan masalah yang terus membayangi ruang akal rasionalku.
Deretan ayat-ayat Tuhan dalam kitab suci itu memaksa air mataku kembali mengalir. CUKUP, aku sudah tak kuasa membendungnya. Angin bercerita padaku bahwa Tuhan sedang mengirimkan hidayahNya pada qolbu ini. Yah, qolbu yang kian harinya kian menghitam. Indah sekali di saat hidayah itu bisa benar-benar meresap dan mengubah banyak pola hidupku yang tak beraturan menjelma sebagai pencerahan yang putih suci. Tak salah jika almarhum ayahku memberikan nama FITRI padaku. Benar-benar sebuah amanah untuk selalu menjaga kesucian, baik itu kesucian lahir dan kesucian batin. Terimakah kasih ayah, kau memberiku nama yang indah. Terimakasih ibu, kau mengirimkan aku ke dalam kurungan penjara suci.
Penjara suci itu, telah mengurungku pada tawaran kenikmatan-kenikmatan dunia. Di sana aku telah dibutakan oleh kesenangan yang sifatnya sesaat. Kata orang, aku taubat. Semoga imanku bisa tetap bertahan bahkan lebih baik dari sebelumnya. Aku hanya ingin melihat ayahku tersenyum di surga dan ibuku bahagia di dunia atas perubahan anak bungsunya. Tuhan, atas nama cintaku padaMu aku bersumpah untuk tetap menjaga cinta ini hanya untukMu dengan bekal iman dan taqwa. I Love You Allah..
Ternyata Tuhan tak mau percaya begitu saja pada pengakuan cintaku. Pasca bebas dari penjara suci, ibu kembali mengirimkan aku ke penjara suci selanjutnya yaitu Pesantren Mahasiswa An-Nur Surabaya. Sebuah penjara yang ibu kira baik untuk menjagaku di daerah seberang. Tahun 2009 dengan terpaksa aku meninggalkan tanah kelahiranku Pulau Madura dan merantau ke daerah seberang di daerah Jawa yaitu di Surabaya, padahal keinginanku ingin menuntut ilmu yang lebih menantang di daerah Batavia atau yang kini disebut Jakarta. Perasaan sedih dan kecewa, namun hati kecilku justru berbisik bahwa untuk saat ini kesuksesanku ada di Surabaya. Desiran ombak Pulau Garam dan ikan-ikan yang berenang di laut melambaikan do’a “Selamat berjuang dan kembalilah dengan membawa kesuksesan”.
Pengalaman awalku menjadi Mahasiswi IAIN Sunan Ampel Surabaya, pengalaman yang tak banyak bisa kuceritakan karena tak berkesan. Kenapa seorang Siswi yang akan memasuki status menjadi Mahasiswi justru ditraining seperti orang gila? Mulai dari properti kostum hingga setting berpikir dipermak menjadi gila. Oh Tuhan, kenapa aku dikirim ke Institusi yang isinya kumpulan orang-orang gila?. Mereka menamai aktivitas itu dengan OSCAAR.
Di tengah perjalanan alur dari proses masa jenjang pendidikan kuliahku, sedikit dan secara perlahan aku mulai beradaptasi bahkan berteman dekat dengan kawan-kawan dan senior-senior yang dulu kupanggil mereka “Orang Gila”. Akupun mulai paham dan terpanggil untuk melakukan revolusi pola berfikir dan pola bergaul Mahasiswa yang berlabel Islam. Hal ini memang idealisme yang konyol, namun entahlah aku tetap percaya diri pada niat suci ini karena aku tahu bahwa Dia akan selalu ada dalam hembusan kebaikan. Kuniatkan sebagai ibadah.
Cobaan yang cukup menantang, Tuhan ingin melihat kesungguhan cintaku padaNya dengan menembak ujian itu pada iman. Sungguh bukan ujian yang main-main, berulang kali aku hampir terjebak pada jurang maksiat. Naudzubillah. Namun, di tengah usiaku yang masih belia, Tuhan hadirkan beberapa kaum adam yang datang silih berganti. Semua laki-laki itu tak pernah ada yang bisa mendekatkan hati ini pada Tuhan. Dalam keheningan malam, akupun mengeluh “Tuhan, bukan laki-laki seperti mereka yang aku butuhkan. Mengapa kau kirimkan mereka dalam kehidupanku? Apakah aku tak pantas mendapatkan hambaMu yang sholih? Seburuk apakah diriku ini? Suatu saat pertemukan aku dengan laki-laki yang dengan cintanya bisa mendekatkan cintaku padaMu”.
Dalam perspesi kawan-kawan, aku dikenal wanita yang sangat menjaga diri, semangat berapi-api dan bersungguh-sungguh dalam berprestasi.Tak banyak bicara tapi suka berdialektika dan beraksi. Tentu pujian yang terlalu berlebihan dan tidak penting. Segala yang kulakukan saat ini diniatkan hanya untuk kebahagiaan orang-orang di sekelilingku yang aku cintai, tak lupa pula kekasih abadiku. Satu hal yang belum bisa hilang dariku, yaitu watak keras yang mungkin sudah mendarah daging dari benih karakteristik orang Madura. Maka tak heran jika sebagian orang tak suka padaku. Aku hanya bisa berkata, semua orang mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Perjalanan cinta dengan manusia yang tiada habisnya, mulai dari ketertarikan dari seorang teman, senior, dosen hingga politispun telah mewarnai hari-hariku di kota perantauan. Entahlah padahal aku tak pernah menarik perhatian apalagi mempesona secara sengaja di depan orang. Aku hanya berusaha menjadi yang terbaik diantara wanita-wanita yang terbaik demi tercapainya cintaku pada Tuhan. Prosesi lamaran dengan seorang laki-lakipun pernah aku alami namun gagal karena hatikuselalu berkata tidak, pasti hal semacam ini sangat menyiksa. Aku ingat pada pesan ibu, “Nak, carilah pasangan seperti ayahmu”. Sorotan mata ibu memancarkan secara jelas akan harapannya yang begitu mendalam. Tenang bu, aku akan berusaha menghadirkan menantu yang persis perangainya seperti ayah agar engkau bangga dan esokpun aku bisa berpesan yang sama pada anakku “Nak, carilah pasangan seperti ayahmu”.
Tahun 2010 pada acara salah satu organisasi ekstra kampus yang aku ikuti, Tuhan mempertemukan aku dengan seorang ikhwan yang aku kenal dia sebagai laki-laki yang komunikatif, adaptatif dan sopan. Awal perkenalan belum ada kesan apa-apa karena aku benar-benar menjaga hati tentu untuk Tuhanku. Semakin hari akupun semakin akrab dengannya, aku semakin paham karakteristik psikologisnya. Dia pandai terutama di bidang agama, semangatnya tinggi dansangat menjaga pergaulan dengan non muhrim.
Kami mulai intens berkomunikasi akhir tahun 2011. Ada salah satu sms yang membuatku bertanya-tanya: “fit, kriteria calon suami pean seperti apa?”. Selain itu juga yang paling membuatku penasaran “fit, aku boleh menyampaikan sesuatu?”. Saat kupersilahkan dia berbicara, dia bilang bahwa akan mengatakannya jika aku hampir lulus kuliah saja. Pasti pikiranku saat itu terbayang kepada sesuatu hal, tapi dengan santai akupun segera membuang rasa penasaran itu seketika. Selama perkenalan itu, banyak hal yang sering kami diskusikan, dia bisa menghadirkan dasar-dasar keilmuannya pada Al-Qur’an dan Hadits. Sebuah pengalaman diskusi yang tak biasanya karena aku sering berdiskusi dengan teman-temandan kebanyakan mereka selalu menggunakan teori-teori barat. Dia benar-benar berbeda.
Bulan Mei 2012 awal dari munculnya benih-benih cinta. Dia menanyakan hal yang sama tentang kriteria calon suamiku. Akupun mengatakannya dengan jujur dan sebenarnya sedikit banyak kriteria itu ada pada dirinya. Tampaknya dia terksipu pada jawabanku dan dalam waktu singkat ada sebuah komitmen yang kami ciptakan. Entahlah, mengapa terlalu cepat cinta itu muncul? Dari mana asalnya? Adakah hati ini selalu condong pada hatinya?. Dalam sujud, kutasbihkan kasih Tuhan dengan alunan irama harapan penuh iba agar petunjukNya segera kubaca dalam hati.
Atas cintanya, mulai ada rindu tanpa ragu. Tutur katanya mengandung do’a-do’a dan nasehatnya mengalirkan energi positif-optimis pada keberhasilanku. Lambat laun busanakupun mulai dia kritik. Kelihatannya dia suka wanita berjubah. Akan kulakukan segala permintaannya demi atas nama cinta. Puji syukur keinginanku menyempurnakan cara berbusana menjadi sempurna telah terwujud sudah atas dukungan dan bimbingannya. Ada lagi satu hal yang membuatku senang padanya, kepribadiannya yang alim dan perilakunya yang dapat menjaga pergaulan dengan non muhrim membuat hati ini semakin terenyuh. Aku tenang bila dia di sampingku. Kehadirannya memancarkan kehangatan dalam sanubari yang tengah berbunga-bunga.
Astaghfirullah. Untaian dzikir terucap dari bibir dan dari dasar palung hati. Tuhan jangan jadikan cinta ini sebagai penghalang untuk mencapai cintaMu. Akan kubuktikan pengakuan cintaku yang sebenarnya padaMu. Sikapnya yang penuh cinta dan kasih sayang, sungguh telah menghipnotisku untuk selalu berdo’a “Tuhan, ridhoi cinta kami sebagai cinta yang diikat dengan hubungan yang halal nan fitri”. Amien.
Banyak hal keunikan yang telah dia lukiskan dalam perjalanan ini. Aku tetap suka cara dia memperlakukanku meski setiap bertemu harus berjalan sendiri-sendiri seperti anak kecil yang sedang bermain ular naga, dia di depan dan aku di belakang. Lucunya lagi, dalam posisi jarak yang dekat, dia berkomunikasi lewat telpon. Sungguh benar-benar unik, kami hanya tak mau terjebak maksiat apalagi fitnah. Maka dari itu, sebisa mungkin meminimalisir hal-hal yang bisa menjerumuskan. Naudzubillah.
Di kala bulan tak mampu memberikan sinarnya untukku, kini sinar wajahnya yang mampu mengajakku pada kedekatan dengan Tuhan. Aku lebih mampu mesra berdua dengan Tuhan di sepertiga malam. Sujud syukur tiada kuhentikan kala kumengingat dia yang hadir dalam hidup dengan membawa sebongkah cinta dan seonggoh kasih sayang yang menyejukkan. Aku melihat sinar keyakinan dan kecemerlangan masa depan di bola matanya. Imajinasikupun mengelana pada khayalan tingkat tinggi untuk shalat berjamaah dalam sebuah rumah yang kunamai “Baity Jannaty” yang di dalamnya terdapat dia sebagai seorang imam yang sholih dan anak-anakku yang senantiasa meramaikan suasana rumah dengan alunan-alunan bacaan kitab suci serta diriku yang bisa menjelma sebagai bidadari untuknya sekaligus seorang ibu yang mendidik anak-anakku menjadi generasi cemerlang pelopor lahirnya kembali peradaban Islam.
Seketika imajinasiku berhenti kala dia tengah dirudung kegundahan. Berulang kali hatinya merasa berdosa dengan adanya cinta ini. Kukatakan dengan indah, tak ada yang salah dengan cinta karena cinta adalah fitrah yang diciptakan oleh Tuhan. Cinta akan berbuah barokah dan kerapkali berbuah bencana sesuai pola management qolbu tiap insannya. Maka dari itu, selalu kuingatkan tetaplah dekatkan diri pada Sang MahaCinta dengan balutan taqwa dan hiasan iman.
Kini kubaru mengerti dan merasakan tentang cinta haqiqi yang Tuhan berikan. Ketertarikan dua hati ini tentunya ada campur tangan Tuhan, betapa indahnya di saat mencintai seseorang karena agamanya. Akan kuterima dia apa adanya, kucintai kelebihannya dan kusayangi kekurangannya. Dia yang kucinta kini telah bersemi sebagai pujangga yang mampu melahirkan bait-bait keikhlasan dalam mencinta. Pujanggaku yang kunanti semoga mampu mengantarkanku pada keharibaanNya. Tuhan sebagai MahaDewaku akan tersenyum dan menerima pertemuanku denganNya. Yah, pertemuan yang sangat aku harapkan.
Kasih, kau katakan akan merantau mengejar ilmu yang lebih tinggi di seberang sana. Pergilah dan kejarlah sesuatu yang kau anggap bisa mendukung pengabdianmu kepada Tuhan. Ku akan menanti meski harus penantian panjang, kesetiaan akan melahirkan keabadian. Selamat berjumpa kembali di ruang kesuksesan, kau dan aku yang tengah terkisah dalam fatamorgana cinta kasih Tuhan. Aku selalu akan merindukanmu. Kutunggu kau dalam episode ijab qobul dengan mahar buku yang kau janjikan. Pinanglah aku dengan basmalah.
Aku yang lemah dan tak berdaya, sedang berupaya menjadi kekasihmu yang terbaik, menjadi perhiasan dunia yang tiada bandingnya untukmu. Semoga ini bukan hanya intuisi khayalan belaka, namun doa yang diharap penuh asa.
Kukabarkan pada dunia, lihatlah kini aku bisa membuktikan cintaku pada Tuhan. Sebentar lagi Tuhan akan percaya pada pengakuan cintaku padaNya dengan bukti yang telah kupersembahkan. Kutelah menemukannya, dia yang terindah yang senantiasa akan menuntunku pada cinta yang sesungguhnya.
MahaDewaku yang terlukis dalam bingkai senyuman Pujangga cinta. Mencumbu mesra bersama hangatnya kata. Mendekap erat dia yang kucinta dalam degupan ayat-ayat cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H