Mohon tunggu...
Fitri Wulandari Hermadi
Fitri Wulandari Hermadi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Urban and Regional Planning at Diponegoro University | Environmental Urbanism | #YouthCityChanger

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

What We Need? Sebuah Pemikiran Masyarakat tentang Permukiman Adaptif di Kota Semarang

3 Oktober 2015   01:05 Diperbarui: 3 Oktober 2015   02:17 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semarang, 10 Januari 2015

Iklim merupakan rata-rata peristiwa cuaca di suatu daerah tertentu, termasuk perubahan ekstrem musiman dan variasinya dalam waktu yang relatif lama, baik secara lokal, regional atau meliputi seluruh bumi kita (WWF, 2014). Iklim dipengaruhi perubahan-perubahan yang cukup lama dari aspek-aspek seperti orbit bumi, perubahan samudera, atau keluaran energi dari matahari dan perilaku manusia di dalam lingkungan tersebut. Saat ini fenomenal global terkait iklim yang menjadi perhatian dunia adalah perubahan iklim (climate change). Perubahan iklim diartikan sebagai sesuatu yang alami dan terjadi, dapat diamati melalui variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (inter centenial). Disamping itu harus dipahami bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan manusia (anthropogenic) dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih fungsi lahan dan kehutanan. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama penghasil gas rumah kaca terutama gas CO2 yang menyebabkan terjadinya pemanasan global.

Untuk mengatasi dampak-dampak perubahan iklim, maka dibutuhkan suatu bentuk adaptasi. Saat ini, upaya pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi masalah perubahan iklim adalah dengan memasukan pengendalian dampak perubahan iklim kedalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Ruang Terbuka Hijau (RTH), serta memasukan angaran khusus dalam APBD. Selain upaya yang dilakukan oleh pemerintah, maka diperlukan juga upaya-upaya yang datang dari masyarakat untuk mendukung kebijakan terkait perubahan iklim.

Perubahan iklim memberikan juga memiliki dampak kepada ekosistem pesisir khususnya yang terkait dengan kenaikan paras muka laut, perubahan suhu permukaan laut, perubahan kadar keasaman air laut, dan meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian ekstrim berupa badai tropis dan gelombang tinggi serta dampak susulannya berupa penggenangan kawasan budidaya, kehilangan aset ekonomi dan infraksruktur, meningkatnya erosi dan rusaknya situs budaya di wilayah pesisir serta keanekaragaman hayati komoditas ekspor strategis (Harmoni, 2005).

Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengkaji pengaruh perubahan iklim adalah tingkat kerentanan. Kerentanan merupakan suatu terminologi yang komplek dan tidak pasti sehingga masih banyak terdapat pengertian tentang kerentanan tergantung pada lingkup penelitian. Kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi yang dipengaruhi oleh proses fisik, sosial, ekonomi, dan Iingkungan yang dapat meningkatkan resiko terhadap dampak bahaya (Herawaty & Santoso, 2007).

Konsep dasar penataan ruang adalah untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan aman dari bencana, untuk itu di setiap wilayah rawan bencana perlu dilengkapi: fasilitas perlindungan baik berupa bentuk alami maupun bangunan, jalur penyelamatan menuju ketempat yang lebih aman dan tempat aman untuk penyelamatan dapat berupa bangunan, alami dan lain-lain (Djauhari Noor, 2007).

Menurut UU RI No.4 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat (2), rumah mempunyai arti bangunan dan lingkungan tempat tinggal dilengkapi dengan sarana dan prasarana fasilitas yang memenuhi syarat-syarat guna mendukung kehidupan manusia. Menurut Arthur C.S. (Housing : Symbol, Structure, Site, 1990), filosofi rumah sama dengan tubuh manusia yang membutuhkan penutup berupa rumah atau shelter. Menurut Sam Davis (The Form of Housing), rumah kemudian akan disebut menjadi perumahan apabila menjadi sekumpulan kesatuan di atas petak-petak lahan individu atau sebagai kelompok rumah gandeng atau sebagai bangunan apartemen. Sebagai wadah kehidupan manusia, rumah dituntut untuk dapat memberikan sebuah lingkungan binaan yang aman, sehat dan nyaman. Untuk itulah Pemerintah dengan wewenang yang dimilikinya memberikan arahan, standar peraturan dan ketentuan yang harus diwujudkan oleh pihak pengembang. Pembangunan perumahan dapat dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pihak swasta.

[Dampak Perubahan Iklim di Kota Semarang]

Banjir dan kekeringan adalah dua bentuk kejadian ekstrim di kota Semarang. Berdasarkan studi literatur, survei lapangan, dan interview di 4 (empat) kelurahan (Mangunharjo, Tanjungmas, Rowosari, dan Tandang), ditemukan bahwa banjir biasanya terjadi pada lokasi dengan elevasi rendah di sekitar area pesisir atau cekungan, atau wilayah dengan sistem drainase yang buruk. Banjir memberikan dampak terbesar pada sektor perumahan, transportasi, dan kesehatan, pertanian, perikanan, drainase dan infrastruktur. Sementara itu, ketika kekeringan, sektor yang paling terkena dampak adalah sektor air minum, kesehatan, pertanian dan perikanan.

Dampak sosial yang disebabkan oleh banjir dan kekeringan dapat dilihat dari hubungan sosial / kekerabatan, hubungan perburuhan, produksi dan pola transaksi dari kriminalitas. Hubungan sosial antara orang-orang pada saat terjadinya bencana masih berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan saling membantu ketika terjadi bencana. Dalam hal hubungan kerja, dampak dari bencana menyebabkan perubahan pada pola-pola kerja yang semula adalah untuk saling membantu pada gilirannya berubah menjadi sistem pembayaran upah.

Dampak dari bencana iklim mengakibatkan perubahan perilaku, sebagai bentuk adaptasi. Saat terjadinya banjir ada perbedaan tindakan adaptasi yang dilakukan antara masyarakat yang tinggal di pesisir dengan yang bukan di pesisir. Selama banjir, sebagian besar masyarakat di wilayah pesisir akan meningkatkan level lantai dan membangun tanggul. Sedangkan di daerah bukan pesisir dengan membangun tanggul, dan untuk sementara pindah ke lokasi lain yang tidak terkena banjir. Sementara itu, aksi adaptasi yang dilakukan masyarakat di daerah pesisir selama kekeringan adalah membeli air bersih, dan di daerah bukan pesisir adalah dengan mengurangi jumlah konsumsi air. Bentuk adaptasi juga dapat dilihat dari strategi hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun