1. Masalah utama terkait sertifikasi halal meliputi kurangnya sosialisasi, keraguan terhadap produk tanpa lebel halal, serta penggunaan sertifikasi untuk persaingan tidak sehat. Ini perlunya edukasi dan regulasi yang lebih baik terkait halal di masyarakat.
2. Muslim diwajibkan untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik (Thayib). Kewajiban ini berlandaskan pada Al-Qur'an dan Hadis, yang menggaris bawahi pentingnya hanya mengonsumsi dan memanfaatkan makanan, minuman, tumbuhan, serta hewan yang telah dihalalkan dan dinyatakan baik. Salah satu hukumnya terdapat dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah : 168.Â
3. Mengonsumsi produk halal menurut keyakinan agama (Islam) merupakan hak yang dijamin oleh Undang-Undang dasar 1945, tepatnya dalam pasal 29 ayat (2) UUD RI 1945. Hak ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang no 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal, khususnya pada pasal 4.
4. Undang-Undang no 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal menjelaskan adanya perlindungan hukum bagi konsumen muslim terhadap produk makanan yang tidak mencantumkan sertifikat halal. Pelanggaran ini dapat dikenai sanksi pidana berupa penjara dan atau denda, sebagaimana yang telah diatur dalam UU perlindungan konsumen no 8 tahun 1999 serta peraturan pemerintah no 39 tahun 2021 tentang penyelenggaraan jaminan produk halal.Â
5. Positivisme hukum menekankan kepatuhan pada UU dan PP tentang sertifikasi halal, fokus pada penegakan hukum dan sanksi. Sedangkan Sociological jurisprudence hukum harus mencerminkan kebutuhan masyarakat muslim, fokus pada perlindungan konsumen dan sosialisasiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H