Mohon tunggu...
Fitriani Nasution
Fitriani Nasution Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijga Yogyakarta 2010

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Kematian

13 November 2012   00:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:31 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

:: Surat Kematian ::

Malam ini mengingatkanku pada malam itu. Malam dimana kenangan itu terukir hina dalam lubuk hatiku sampai saat ini. Mata hatiku tertutup dan tak pernah sedikit pun terbuka untuk siapa pun setelah kejadian malam yang buruk itu. Angin malam itu masuk ke sela-sela tulangku yang keras dan membekukan kulitku yang tipis ini. Bulu kudukku berdiri dan lama sekali untuk membuat mereka tertidur lagi.

Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini. aku tersesat dalam keadaan yang menyesatkan diriku sekarang. Aku tak tahu harus berbicara apa, sekedar membuka mulut saja rasanya sangat sulit. Aku bingung harus berbuat apa, untuk sekedar menyadarkan diriku yang setengah sadar sekarang saja aku ragu. Ingin rasanya aku memejamkan mata ini untuk selamanya. Tapi Tuhanku itu tetap saja membangunkan tidurku ini. aku ingin tidur abadi di keabadiann-Nya, tapi Dia selalu menolak kehadiranku ini. ahhhh,,, selalu saja begitu. Kau memang selalu menang, dan akan selalu membuatku kalah. Itulah yang membuat Kau disegani semua manusia di bumi ini. sangat mengagumkan keberadaanMu Tuhan.

***

Setelah pulang kerja kuambil sepucuk surat di kotak surat depan rumahku.

Dari: Bara.

Untuk: Kartika.

Dan ternyata tak ada surat untukku hari ini. Tapi, nama kartika juga tak pernah ada dalam rumahku. Apa mungkin surat ini salah tujuan. Kucari alamat pengirim, tapi tidak ada. Hanya dua baris kalimat itu yang ada di atas amplop surat berwarna biru muda itu. Tak biasanya amplop surat berwarna seperti ini, bahkan berhiaskan bunga mawar merah yang indah. Aneh, tapi kubiarkan saja surat itu, bukanurusanku!

***

Sudah 7 hari aku tak pulang kerumah. Pekerjaanku memaksaku bermalam selama tujuh hari di kantor. Akhirnya semua pekerjaanku di kantor sudah ku selesaikan semua, dan waktunya aku pulang kerumah lagi. Baru saja aku membuka gerbang pintu rumahku, kulihat dari kejauhan ada setumpuk surat di kotak surat . Dan lagi-lagi surat dari bara yang datang, dan teruntuk kartika pula.

aku diam sejenak dan sedikit berpikir tentang surat-surat itu. Dan hatiku pun bicara “buka saja surat itu”. Aku pun mengambil setumpuk surat-surat itu, ada delapan surat rupanya. Aku bawa ke kamar tidurku, lalu kubuka dan kubaca satu persatu. Surat pertama hanya bertuliskan “maaf aku tak bisa menemuimu “. Isi yang sama juga tertulis sampai surat yang ketujuh.

Tapi, kalimat dalam surat kedelapan cukup panjang, bara menulis : “kamu pasti bingung dengan datangnya surat ini, bahkan mungkin akan mengacuhkan surat-suratku ini.Kau mungkin tak mengenalku dengan baik, tapi sebaliknya aku sangat mengenalmu dengan sangat dekat. Maaf telah membuatmu bingung dan mengganggumu hari ini. Tapi, perlu kau ketahui aku mencintaimu dengan rumit. Seperti soal matematika yang sulit dicari jawabannya, tapi sekarang aku tahu jawaban yang harus aku jawab saat ini. Bahwa aku mencintaimu sepanjang umurku“.

Sesaat aku tersentak dengan isi surat tersebut. Sangat menyedihkan pria bernama bara itu. Ingin rasanya aku balas, tapi tak ada alamat yang tercantum disurat ini. Ingin rasanya kucari seorang gadis bernama kartika, tapi aku harus cari kemana ?. ahh, sudahlah. Ini juga bukan urusanku. Lalu kubiarkan saja surat-surat itu tergeletak di ubin kamarku ini.

***

Hari-hari menjadi sekretaris di sebuah perusahaan ternama saat ini telah kulalui dengan rasa senang. Tapi, hanya satu orang yang membuatku selalu tak bahagia. Sosok pria yang kubenci selalu saja datang menghantui kepalaku disaat aku melamun sepertiini. Ingin rasanya aku melihat Rama mati sekarang juga dihadpanku. Setelah apa yang dia lakukan pada keluargaku delapan belas tahun yang lalu. Rama telah menghancurkan keluargaku, sehingga aku hanya hidup sendiri menjalani hidupku ini. Terlalu cepat aku kehilangan orang tuaku dalam usia semuda itu, dan itu semua karena Rama. Ya Tuhan, sungguh aku sangat membencinya, sampai kapan pun aku tak kan memaafkannya.

Sinta, ada kiriman untukmu !. teriakan mbok Sum mengagetkanku, dan akuterbangun dalam lamunanku itu. Aku segera mengambil kiriman dari tangan mbok Sum. Mbok Sum adalah pembantu keluarga kami sejak aku kecil, bahkan sejak alm.ayahku baru lahir. Dia setia menemani dan selalu menolong keluarga kami. Mbok Sum lah yang merawatku sampai aku sebesar ini,merawat anak perempuan yang tinggal sebatang kara di dunia yang kejam ini

Kiriman ini lumayan besar, berbentuk sepertikardus indomie. Kurobekkertas kado yang membalut kardus itu dengan perlahan, dan aku buka lem yang merekat di bagian atas kardus itu. Kuambil semua barang yang ada di dalam kardus itu. Terdapat sebuah foto album yang sudah lusuh, sebuah buku tipis yang sedikit berabu dan sepucuk surat. Dan, surat itu persis sekali dengan surat yang pernah dikirimkan pria bernama Bara beberapa waktu yang lalu.

Apa mungkin semua ini untuk gadis bernama kartika? Tapi kulihat namaku diatas kertas kado tadi sebelum kubuka. Dan namaku juga tertulis di surat biru berbunga mawar itu, berarti ini memang kiriman untukku. Tapi anehnya, tak ada nama dan alamat pengirimnya. Surat ini terdiri dari dua lembar, dan aku sedikit malas untuk membacanya. Akhirnya kuputuskan untuk membuka album foto terlebih dahulu. Di album foto ini terdapat fotoku dari aku berumur lima tahun sampai sekarang. Siapa yang diam-diam mengambil fotoku ini ? apa mungkin penggemarku? Sebenarnya tak ingin ku pikirkan hal ini, tapi jujur aku merasa bahagia.

Ku letakkan album foto itu, aku ambil buku tipis yang berada di bawah surat biru berbunga itu. Buku yang hanya berhalaman 12 lembar itu ternyata berisi naskah drama. Aku mulai membacanya dengan seksama, belum sempat ku selesaikan membaca naskah tersebut tiba-tiba air mataku mengalir sampai jatuh dan membasahi naskah drama yang berjudul “ Putri Kartika dan Pangeran Bara”. Itu adalah naskah drama saat aku masih bersekolah di Taman Kanak-kanak (TK). Aku berperan sebagai Putri Kartika yang cantik dan baik hati, dan.... yang berperan sebagai Pangeran Bara adalah Rama.

Sekarang aku sudah ingat semuanya. Aku telah sadar dengan semua keadaan ini. Aku paham arti dari surat-surat berwarna biru berbunga mawar yang dikirim beberapa waktu yang lalu. Yang dimaksud perempuan bernama Kartika adalah aku, Sinta. Dan Bara adalah Rama. Tapi kenapa Rama berbuat hal seperti ini? Mengapa dia datang lagi dalam kehidupanku ? belum puaskah dia menghancurkan kehidupanku ?. baru saja aku bisa sedikit melupakan lelaki yang bernama Rama itu, tapi kenapa dia datang lagi dalam kehidupanku? Sangat menyebalkan !.

Dengan rasa penasaran yang sangat, dengan cepat tanganku mengambil surai berwarna biru berbunga itu. Rasa malas untuk membaca surat itu sekarang berubah menjadi semangat yang menggebu untuk membacanya. Dan kubaca secara perlahan :

“ Sinta, sekarang kau telah tahu semuanya. Kau sudah tahu siapa aku. Aku adalah Rama, sahabat kecilmu dan sahabatmu sampai kau sebesar ini, walaupun aku tahu kau pasti tak sudi menganggap aku sebagai sahabatmu lagi sekarang. Tapi, aku sangat bahagia akan hal itu. Aku adalah pangeran Bara yang sangat mencintai dan mengagumi Putri Kartika. Seperti dalam drama yang hampir saja kita akan perankan dalam perpisahan TK kita dulu. Kau masih ingat kan? Saat kau terpilih untuk berperan Putri Kartika, saat itu kau menunjukku untuk jadi Pangerannya. Dulu mungkin kita hanya bocah lima tahun yang tahu apa arti drama itu. Tapi, tahukah kau saat aku beranjak dewasa aku mulai mengerti semua isi drama itu. Andai saja itu bukan sebuah drama, aku sungguh sangat gembira apabila kau memilihku untuk jadi pangeranmu seumur hidupmu sekarang.

Sinta, maafkan aku yang telah menghancurkan kebahagiaan kamu hingga kamu hidup sebatang kara seperti ini. Dengan sangat aku memohon padamu. Bukan maksudku untuk mencelakakan mobil keluargamu itu, sungguh sedikit pun aku tak mau melihatmu terluka. Saat aku menyebrang jalan raya depan sekolah TK kita dulu, aku tak melihat mobil di kanan-kiriku. Tapi tiba-tiba mobil dengan kelajuan cepat datangke arahku. Aku hanya bisa berteriak, dan mobil itu ingin menghindariku sehingga terguling dan menabrak pohon di depan halaman TK kita.

Setelah orang ramai melihat dan menyelamatkan korban di dalam mobil itu, ternyata ada kamu di dalamnya, kamu sangat cantik dengan gaun berwarna biru berbunga mawar itu Sinta. Kau dan orangtuamu langsung dibawa ke Rumah Sakit terdekat. Dan ternyata orangtuamu tak bisa diselamatkan, tapi kau beruntung bisa selamat. Mulai saat itu raut wajahmu selalu tampak sedih, dan saat itu pula kau tak pernah bersua dan tak mau melihatku lagi. Kau selalu berteriak pembbbuunnuuhh ke arahku. Aku sedih mendengarnya .sungguh!

Saat itu aku sangat takut dengan diriku sendiri .Tapi tahukah kau, betapa menyesalnya diriku saat ini?. Walaupun kau tak pernah melihatku selama ini, aku tetap memperhatikanmu dari jauh setiap hari. Sampai saatnya aku tahu banhwa kau punya penyakit yag sulit disembuhkan. Kau menderita kerusakan dalam organ hatimu. Aku sangat sedih mendengarnya, apalagi sejak saat itu kau selalu tampak gelisah.

Sinta, mungkin kau tak kan pernahlupa dengan kejadian semua itu, khususnya aku. Andai saja drama TK kita dulu yang tak sempat di tampilkan bisa di tampilkan sekarang . disaat kita sama-sama dewasa. Tapi tak mungkin kau mau, aku hanya terlalu banyak berharap . Aku lebih senang menjadi Pangeran Bara yang sangat dicintai Putri Kartika daripada menjadi seorang Rama yang sangat dibencimu Sinta. Sinta, maafkan aku tak bisa menemuimu. Andai saja kau tahu setiap detik aku selalu memikirkanmu dalam diam dan hatiku ini. Sungguh aku sangat mencintaimu. . Mungkin ini surat terakhir untukmu. Mulai saat ini aku tak kan mengganggumu lagi. Dansungguh seumur hidupku aku janji tak kan mengganggumu lagi.”

(Pangeran Bara).

***

Dering suara HP ku yang nyaring menghentikan tangisanku sesaat. Dadaku sesak membaca surat dan melihat semua barang dari Rama. Ku angkat telpon dari Silvi sahabatku dari kecil sampai sekarang. Dengan suara sedikit lirih dia bilang, kau masih kenal teman TK kita yang sangat kau benci selama ini Sinta? Ya, Rama tadi pagi telah meninggal dunia karena kanker hati.

Belum sempat aku menjawab perkataan Silvi, dengan cepat Silvi mengatakan :“ tahukah kau Sinta, Rama sangat mencintaimu. Saat dia tahu kau membutuhkan cangkok hatiagar kau bisa bertahan hidup lima tahun yang lalu, dia dengan segera ke Rumah Sakit dan bersedia mencangkokan hatinya untukmu. Maafkan aku Sinta, sebenarnya selama ini aku sering bertemu dengannya. Aku tak pernah bercerita padamu karena ku tahu kau sangat membencinya. Tanpa kusadari Hpku jatuh dari genggaman tanganku.

Ya Tuhan, maafkan sikapku ini. Baru saja aku berhenti dalam tangisanku, sekarang air mataku jatuh lebih deras lagi. Saat umurku lima tahun Rama memang ku anggap pembunuh orang tuaku, ternyata aku salah. Dan selama lima tahun juga hati Rama menjadi hatiku. Selama 18 tahun juga aku tak sadar ada orang yang sangat ku benci ternyata sangat mencintaiku, sekalipun aku tak pernah melihatnya. Kenapa kau baru sadarkan semua ini sekarang Tuhan ?. kau sungguh sangat jahat, kenapa orang yang sangat kusayangi dan menyayangikuselalu kau panggil ke rumahmu dengan cepat? Kenapa tidak aku saja yang kau panggil ke rumahMu yang jauh itu?

***

Sekarang aku benar-benar sendiri. Malam yang sunyi, hanya aliran air yang kudengar di telingaku. Sepi, gelap, dan gerimis halus juga ikut serta menemaniku saat ini. Kakiku melangkah ke suatu tempat yang jauh dari keramaianini, lagi-lagi tempat ini yang bisa menghentikan langkah kakiku yang rapuh ini. Sungaidi belakang rumah nenekku ini adalah tempat favorit aku dan keluargaku menghabiskan waktu libur dulu, dan juga tempat bermain paling favoritku dan Rama dahulu. Disinilah kuhabiskan kenangan manis bersama mereka.

Aku duduk dengan kesadaranku yang belum seutuhnya kembali. Aku letakkan kakiku kedalam air sungai di depanku, lalu kulihat wajahku yangletih di dalam air sungai itu. Lama sekali aku melihat wajahku itu, wajah yang melambangkan kegelisahanku saat ini, mungkin untuk seumur hidupku. Lalu, tanpa kusadari muncul beberapa wajah dalam air yang mengalir halus di hadapaku ini. Disana kulihat wajah ibuku, ayahku, dan Rama. Mereka sedang menatapku bisu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun