Polisi, persisnya dua oknum Polisi Republik Indonesia (Polri) yang tertangkap di daerah Kuching, Malaysia sangat memalukan, bukan saja karena seharusnya keduanya yang berada di pihak penangkap, melainkan kejadian penangkapan itu sendiri berlokasi di negeri tetangga. Adalah Kepala Subdirektorat narkoba kepolisian Daerah kalimantan barat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKPB) Idha Endri P dan bawahannya, Brigadir Kepala (Bripka) Harahap, yang telah mempermalukan institusi kepolisian Indonesia. Atasan dan bawahan itu ditangkap Polis Diraja Malaysia, dan kasus yang diancam hukuman mati itu kini ditangani kepolisian Bukit Aman, Kuala Lumpur. Keduanya, dikabarkan tertangkap dengan barang bukti narkoba seberat 6 kg.
Ini merupakan pukulan telak bagi Polri, bukan saja bagi Polda Kalimantan Barat, melainkan untuk seluruh kepolisian Indonesia. Penangkapan oknum polisi Indonesia di luar negeri itu sekaligus merupakan hukuman dari kelalalian dan lemahnya penegakan disiplin, juga sanksi hukum bagi anggota polisi bermasalah. Nyatanya berdasarkan sumber Polda Kalimantan Barat diperoleh data bahwa Idha memang sering bermasalah. Dia pernah diduga berkaitan dengan penyusutan barang bukti narkotika di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Tapi kemudian kasusnya dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.
Tetapi kasus itu masih menyisakan tanda tanya, karena beredar rumor bahwa anak buah Idha, Bripka TN yang menjadi tersnaka kasus narkotika, tiba-tiba menghilang. Idha yang merupakan atasan langsung TN diduga sengaja melepaskan anak buahnya tersebut agar kedoknya tidak terbongkar. Nama AKBP Idha juga pernah menjadi perhatian secara nasional ketika istrinya, Nyonya Titi Yusniawati melaporkan ke polres bandara soekarno hatta telah kehilangan perhiasan senilai 19 miliar di bagasi Lion Air. Namun, setelah pencurinya tertangkap, nilai perhiasan yang dihitung saksi ahli merosot menjadi 181 juta. Idha juga dikabarkan beberapa kali terlibat "kasus asmara" dengan beberapa perempuan.
Perbuatan memalukan ini harusnya mendorong petinggi Polri untuk menegakkan wibawa. Tidak hanya terhdap masyarakat umum, pelaku kejahatan, tetapi juga terhadap anggotanya sendiri. Jangan terlalu mudah memberikan "maaf" terhadap aparat yang berbuat salah. Apalagi membela secara terbuka dan membabibuta dan tetap menempatkan "pengkhianat" itu diposisi strategis. Presiden SBY selalu menegaskan agar institusi kepolisian tetap disiplin dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Cap dari sejumlah kalangan bahwa Polri baru mampu 50 persen mereformasi diri sejak era reformasi diproklamirkan 16 tahun, harusnya mendorong elite Polri terlebih Kapolri Jenderal Sutarman membersihkan korps kepolisian.
Terungkapnya sejumlah petinggi polri terlibat korupsi seperti irjen Djoko Susilo dan sejumlah lainnya merupakan bukti bahwa masalah polisi tidaklagi urusan denda damai bagi pelanggar lalu litas atau sogok menyogok tetapi sudah merupakan pelanggaran besar yang tidak cukup hanya dengan sanksi teguran atau pemindahan tugas, namun harus di pecat dari dinas kepolisian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H