Kesehatan reproduksi perempuan adalah isu global yang semakin mendapat perhatian dan terus berkembang. Kesehatan reproduksi bukan hanya penting bagi kesejahteraan perempuan itu sendiri, namun juga memiliki dampak besar bagi keluarga dan masyrakat. Beberapa dekade terakhir, kesadaran akan hak-hak reproduksi perempuan terus meningkat.
Dimana para aktivis Feminis selalu mengkampanyekan tentang hak-hak perempuan yang mana selalu menimbulkan kontrovesi di media sosial. Namun, disamping kesadaran beberapa perempuan akan hak-haknya masih ada berbagai tantangan besar yang dihadapi, seperti akses ke layanan kesehatan reproduksi, penggunaan kontrasepsi, kesehatan menstruasi, serta pengelolaan penyakit menular seksual dan kanker serviks.
Maka dari itu kita akan mengulas isu-isu kesehatan reproduksi perempuan, berbagai hambatan yang masih ada, dan harapan untuk kemajuan di masa depan, terutama terkait pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Apa sih Sustainable Development Goals (SDGs)?
SDG’ adalah Pembangunan Berkelanjutan yang dirancang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki 17 tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan global. Namun kita disini hanya membahas kesehatan reproduksi wanita yang berkaitan langsung dengan beberapa tujuan dari SDG’S tadi seperti:
- SDGs nomor 3 (good health and well-being)
Kehidupan sehat dan sejahtera (good health and well-being) tujuan nomor tiga dari 17 tujuan SDGs adalah menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia. Fokus dari tujuan ini mencakup berbagai hal mulai dari menjamin gizi masyarakat, sistem kesehatan nasional, akses kesehatan dan reproduksi, keluarga berencana (KB), serta sanitasi dan air bersih.
- SDGs nomor 5 (gender equality)
- Kesetaraan gender, tujuan nomor lima dari 17 tujuan SDGs adalah mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif.
- Nah, melihat dari SDG’s yang dicanangkan oleh PBB tadi maka adalah standar yang ditetapkan oleh WHO untuk mencapai goal ini yang pertama adalah AKI (Angka Kematian Ibu). Angka Kematian Ibu Hamil menurut WHO yaitu Kematian ibu per 100.000 kelahiran “Kematian seorang wanita saat hamil atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tanpa memandang durasi dan lokasi kehamilan, dari penyebab apa pun yang terkait dengan atau diperburuk oleh kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan dari penyebab yang tidak disengaja atau insidental”-WHO.
- Berdasarkan data kemenkes tahun 2023, angka kematian ibu (AKI) sekitar 205/100.000 kelahiran hidup (KH) dan belum mencapai target yang ditentukan yaitu 183/100.00 KH di tahun 2024. Bahkan target SDG’s dyang ditetapkan WHO , yaitu 70 per100.000 Beberapa penyebab dari tingginya Angka Kematian Ibu diantaranya adalah
- Kehamilan yang tidak diinginkan.
- Hipertensi pada kehamilan atau yang biasa disebut Preeklampsia pada kehamilan,
- Aborsi tidak aman, tidak didampingi oleh nakes yang bersertifikat,
- Perdarahan obstetrik (perdarahan selama kehamilan, persalinan, atau setelah melahirkan).
- Mungkin kita bisa bahas terkait Hipertensi pada kehamilan yang sedang trend terjadi di masyarakat Indonesia. Hipertensi ini pada awalnya tidak terjadi pada ibu sebelum kehamilannya. Hipertensi ini terjadi karena bawaan kehamilan yang mana kemungkinan besar, hipertensi ini akan terbawa oleh ibu bahkan setelah melahirkan. Hipertensi pada kehamilan ini, biasanya disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat seperti kurangnya aktifitas fisik, pola makan tinggi garam, stress dan kebiasaan merokok, obesitas juga meningkatkan resiko hipertensi dalam kehamilan, ada pula disebabkan oleh usia ibu hamil yang terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>35 tahun). Lalu penyebab lainnya adalah factor genentik dan riwayat keluarga ibu.
- Lalu ada kehamilan yang tidak diinginkan seperti kehamilan karena perkosaan, kehamilan pada remaja diluar nikah, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan, 80% dari permohonan dispensasi nikah terjadi karena kasus hamil di luar nikah. Artinya, jika setiap tahun angka dispensasi nikah di atas 50.000, maka jumlah remaja perempuan di bawah 19 tahun yang hamil di luar nikah mencapai 40.000 orang. Angka ini cukup fantastis dimana kehamilan yang terlalu muda >20 tahun sangat beresiko menyebabkan komplikasi dan berujung pada kematian,. Dimana hal-hal ini meningkatkan angka resiko aborsi tidak aman, aborsi yang tidak didampingi oleh nakes bersertifikat. Dimana, aborsi diatur secara ketat oleh hukum, termasuk Pasal 75 Undang-Undang Kesehatan, yang hanya memperbolehkan aborsi dalam kondisi tertentu seperti ancaman terhadap nyawa ibu atau kehamilan akibat pemerkosaan. Abosi yang illegal, ditambah tidak didampingi oleh tenaga Kesehatan dapat mengakibatkan perdarahan, perdarahan saat proses aborsi maupun setelah aboris dilakukan atau yang bisa disebut dengan masa nifas. Perdarahan yang tidak terkontrol akan menyebabkan hal yang fatal bagi ibu yaitu kematian.
- Kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) juga dapat terjadi pada pasangan yang sudah menikah, salah satunya disebabkan oleh penolakan penggunaan alat kontrasepsi (KB). Ketidaksetaraan gender menjadi salah satu faktor utama, terutama terkait pengambilan keputusan mengenai kesehatan reproduksi. Fenomena ini sering kali didasarkan pada norma sosial yang menganggap bahwa keputusan penggunaan KB harus mendapat persetujuan suami.
- Persetujuan Suami sebagai Kendala.
- Dalam beberapa budaya dan rumah tangga, perempuan hanya dapat menggunakan kontrasepsi jika disetujui oleh suami. Ini menempatkan perempuan dalam posisi pasif, sehingga membatasi hak mereka untuk mengontrol kesehatan reproduksi mereka sendiri. Data menunjukkan bahwa hanya 57% perempuan berusia 15-49 tahun di dunia yang dapat membuat keputusan sendiri tentang kesehatan seksual dan reproduksinya, termasuk akses kontrasepsi
- Dampak pada Kesehatan Perempuan
- Ketidaksetaraan ini meningkatkan risiko kehamilan yang tidak direncanakan, yang dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik perempuan. Selain itu, hal ini memperparah risiko ekonomi dan sosial, terutama dalam rumah tangga dengan keterbatasan sumber daya.
- Melihat fenomena diatas, apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah atau menangani hal-hal diatas?
- Untuk mengurangi angka kehamilan tidak diinginkan pada remaja sebenarnya pemerintah sudah ada programnya yaitu posyandu Remaja atau Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) yang biasanya diselenggarakan dipuskesmas. Pendekatan ini bertujuan untuk mendukung penyedia pelayanan khususnya Puskesmas sanggup memberikan pelayanan kesehatan yang menyeluruh, sesuai dan memenuhi kebutuhan remaja yang menginginkan privacy, diakui, dihargai dan dilibatkan pada perencanaan, pelaksanaan hingga penilaian aktivitas.
- Layanan konseling sebagai karakteristik menurut PKPR mengingat konflik remaja tidak hanya berkaitan pada fisik namun pada psikososial juga. Upaya jangkauan terhadap kelompok remaja pula dilaksanakan melalui aktivitas komunikasi informasi dan edukasi (KIE), Focus Group Discussion (FGD) serta penyuluhan ke sekolah dan kelompok-kelompok remaja Tetapi pelayanan ini sepertinya tidak sampai kepedesaan ataupun kepada kelompok remaja yang ada dikota. Dikarenakan hal-hal konsultasi masalah reproduksi maupun masalah Kesehatan pada perempuan dianggap tabu dan memiliki stigma memalukan, aib. Hal-hal ini harus terus-menerus dikampanyekan bahwa setiap anak maupun remaja perempuan boleh memeriksakan dirinya. Belum lagi stigma dari Nake situ sendiri yang kerap menatap sinis dan memvonis semena-mena terhadap remaja perempuan yang memeriksakan dirinya. Kurang rasa aman dan nyaman itu tentu menjadi penyebab utama remaja perempuan enggan memeriksakan dirinya.
Selain itu Meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, khususnya di daerah pedesaan, dengan menyediakan fasilitas kesehatan yang lebih baik dan pelatihan bagi petugas kesehatan.
Meningkatkan pendidikan tentang kesehatan reproduksi di kalangan perempuan dan masyarakat umum untuk mengurangi stigma dan meningkatkan pengetahuan tentang layanan yang tersedia seperti posyandu untuk ibu hamil ataupun pembiayaan pemeriksaan kesehatan gratis bagi ibu hamil yang tersedia dipuskesmas dengan asuransi kesehatan JKN.
Pemberdayaan Perempuan juga menjadi kunci utama untuk mengatasi fenomena AKI di Indonesia, Berdasarkan laporn UNFPA (2022) salah satu organisasi PBB yang memiliki mandat secara garis besar bekerja sama mendukung pemerintah anggota-anggota PBB untuk menjamin pelayanan kesehatan reproduksi bagi warga negara, akses ke alat kontrasespi yang terjangkau dan edukasi reproduksi dapat mencegah hingga 75% kehamilan tidak diingkan KTD. Kebijakan berbasis gender juga penting untuk memastikan perempuan memiliki hak penuh atas keputusan reproduksinya tanpa hambatan persetujuan suami.
Kesadaran Masyarakat akan pentingnya kesetaraaan gender dan Pendidikan Kesehatan diharapkan dapat menurukan angka kematian ibu akibat komplikasi kehamilan. Tentunya, semua ini perlu kolaborasi antara pemerintah, tenaga Kesehatan dan Masyarakat untuk menuju Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H