Pemerintah mengatakan mereka memiliki alasan dalam menaikkan harga Bahan Bakar Minyak. Berdasarkan pendapat mereka, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak merupakan jalan satu-satunya untuk mengatasi inflasi dan juga pembengkakan dari APBN untuk subsidi yang sebelumnya telah diberikan pemerintah untuk kaum masyarakat menengah ke bawah.Â
Pemerintah berpendapat sebenarnya mereka masih memikirkan nasib dari rakyat, namun kenaikan harga Pertamax dilakukan akibat dari Perang Rusia-Ukraina yang mengakibatkan fluktuasi minyak dunia. Jika BBM non-subsidi seperti Pertamax tidak dinaikkan, maka BBM bersubsidi yang diberikan pemerintah ke produk Pertalite akan menambah beban APBN.
Nuri Resti Chayyani dan direktur Center of Economic and Law studies (CELIOS), Bima Yudhistira Adhinegara sebagai peneliti The Indonesian Institute merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak, Pengambilan keputusan untuk menaikkan Pertamax saat ini kurang tepat karena Indonesia tengah berada dalam masa pemulihan ekonomi akibat dari pandemi. Kebijakan untuk menaikkan harga Pertamax juga dilakukan saat masyarakat sedang tercekik oleh kenaikan harga pangan. Hal ini akan sangat memberatkan masyarakat.
Idealnya, untuk menjaga daya beli masyarakat dan menjamin pemulihan ekonomi kenaikan harga Pertamax masih bisa ditahan. Pada tahun 2020, Pertamina sempat mendapat laba sebesar RP 15 triliun. Pada saat itu Pertamina tidak menurunkan harga Pertamax. Untuk menahan selisih harga keekonomian Pertamax dari harga jual RP 9.000 per liter, Pertamina bisa menggunakan keuntungannya pada tahun 2020. Meskipun pada akhirnya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak terjadi, diharapkan apa yang menjadi kebijakan pemerintah ini mampu mensejahterakan masyarakat dan bukan untuk membuat kesengsaraan yang berkesinambungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H