[caption id="attachment_336742" align="aligncenter" width="737" caption="Sumber Foto: fitmanalu.dok"][/caption]
Prolog
(‘)
Kulihat mereka di sebuah taman
Berangkulan mesra dengan senyuman
Tangan mereka saling menggenggam
Helaian kelopak bunga pun berguguran
(‘’)
Saat mereka berjalan meninggalkanku
Sejenak aku terhenyak dan terpaku
Lalu aku tersadar dan berseru memanggil
Namun mereka tak jua hendak berpaling
(‘’’)
Tiba-tiba sang bayu meniup kencang
Kelopak bunga helai demi helai terbang
Berganti helaian daun yang jatuh perlahan
Bersama seberkas sinar gemilang menyilaukan
(‘’’’)
Siluet sebuah sosok mulai terlihat
Ketika sinaran mulai meredup lamat
Hadirkan sejuta kesan dalam pesona
Lenyapkan selaksa pedih dan nestapa
(‘’’’’)
Kutilik wajahnya yang tak kunjung tereka
Tak kunjung tabir cahaya terbuka
Ketika aku melangkah mendekat
Lena mimpi pun usai tiba-tiba…
Kisah 1
AKHIR KISAH- AWAL CERITA
Rinai hujan baru saja usai, meninggalkan jejak-jejaknya pada kaca jendela setelah menandai akhir musim kemarau. Keheningan malam ini tak seperti malam-malam biasanya. Jam dinding di kamar menunjukkan tepat pukul satu dinihari saat aku terjaga dari mimpi. Seisi kamar terlihat kacau. Setumpuk majalah dan tabloid berserakan di lantai. Setoples keripik bawang terguling dengan tutup terbuka ̶ sebagian isinya berserakan di atas meja.
Tubuhku bergelung di bawah bed cover biru bercorak pelangi. Kedua mataku sembab ̶ kepalaku terasa berat. Meski mendesah panjang untuk yang kesekian kalinya ̶ beban itu masih saja sesak menghimpit. Rasanya ingin lenyap ̶ terbebas dari kenyataan. Berusaha mengusir lara aku bangkit menuju DVD player. Alunan lagu Because of You dari Kelly Clarkson segera memenuhi ruangan. Malah menenggelamkanku dalam kelebatan penggalan demi penggalan kisah menyakitkan yang menyiksa dan tak mau pergi.
Pertemuanku dengan Togu bermula sejak kami menuntut ilmu di kampus yang sama di kota Medan. Tak ada yang istimewa pada awalnya. Hanya sekedar kedekatan dua orang mahasiswa seangkatan yang kebetulan satul jurusan. Namun seiring waktu, kedekatan itu perlahan menumbuhkan jalinan persahabatan di antara kami.
Sesosok laki-laki berwajah teduh nan rupawan dengan kecerdasan menonjol, membuatnya menjadi sosok yang populer di kampus. Bagiku, memilikinya adalah sebuah mimpi. Ketika ia menyatakan perasaannya menginjak tahun ketiga perkuliahan kami di sudut perpustakaan kampus ̶ aku menyambutnya dengan hati berbunga.
Sebagai seorang kekasih, Togu melimpahiku dengan kelembutan kasih sayang dan perhatian. Sebagai seseorang yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, tentu saja hal itu membuatku bahagia. Hari-hari perkuliahan penuh gairah berwarna sejak kami merajut cinta. Meski harus bertabir rahasia karena Togu, Rida dan aku telah mengikat janji persahabatan untuk selama-lamanya.
Rida ̶ sahabat karibku sejak kecil, sebenarnya lebih mirip pelindungku. Sering bersikap seolah-olah aku adalah adiknya. Karakternya yang tegas dan aktif dalam pergaulan serta kecerdasan di atas rata-rata membuatnya tak kalah populer dengan Togu. Kami telah melalui tahun-tahun persahabatan yang meninggalkan banyak nostalgia di Lubukpakam ̶ kota kelahiran kami.
Sahabatku sejak kecil itu kebetulan kuliah di jurusan yang sama denganku. Sejak semester satu dimulai, aku kompak berbagi rumah dengannya. Kami memiliki minat yang sama pada banyak hal, terutama travelling. Saat liburan semester tiba, kami selalu meluangkan waktu untuk mengunjungi tempat-tempat wisata terdekat dari Kota Medan. Berastagi, Bukit Lawang, hingga deretan pantai di kota kecil Perbaungan, telah kami jalani satu demi satu. Meski aku cenderung menjadi pengikut, sesekali Rida juga menanyakan pendapatku soal tujuan perjalanan kami.
Sejak kecil, Rida telah tergila-gila dengan sunset di tepi pantai. Menurutnya, pemandangan senja adalah ciptaan terindah Tuhan di dunia. Sementara itu, aku lebih menyukai hawa sejuk pegunungan dengan puncak-puncaknya yang menjulang. Suasana hening pegunungan selalu mendamaikan hatiku. Daerah wisata yang ramai dijejali turis kurang menarik minatku.
Kami bertiga telah menjalin persahabatan erat dan berjanji untuk menjaga persahabatan itu selamanya. Janji itulah yang membuatku dan Togu merahasiakan hubungan kami. Hingga suatu saat, kami memutuskan untuk memberitahunya kebenaran. Takkan pernah kulupakan ekspresi Rida kala itu.
Awalnya ia hanya terpana, namun beberapa beberapa detik kemudian, ia bertanya, “Dum, bukankah kita bertiga telah berjanji untuk bersahabat?” Sebuah ekspresi yang tak kumengerti menghiasi wajahnya.
“Ya, tentu saja…” jawabku dilanda kecemasan.
“Lalu, mengapa harus ada cinta di antara kita?” Ketakrelaan kutangkap pada nada suaranya.
Togu berusaha menengahi. “Maaf, Da. Aku yang lebih dulu menyatakan perasaan pada Duma. Dia…”
“Aku tidak tanya kamu!” Rida memotong kalimat Togu dengan kasar. “Kita bertiga bersahabat, tak perlu ada cinta!”
Aku memegang lengan sahabatku itu, mencoba menenangkannya. “Tapi kami sungguh saling mencintai. Please, kuharap kamu mengerti…”
Sepasang mata Rida membeliak marah. “Kamu nggak pernah cerita padaku selama ini! Kalian berdua tega menyimpan rahasia!” serangnya.
“Maafkan aku… Aku melakukannya karena tak ingin merusak janji persahabatan kita.”
“Ya, kami benar-benar minta maaf…” Togu turut memohon maaf.
Rida diam menegang ̶ memandangi wajah kami berganti-ganti. Aku semakin cemas memilin-milin ujung baju. Togu hanya bisa memegang pundakku mencoba menenangkan. Kami bertiga hanya larut dalam kebisuan, hingga akhirnya Rida menghentakkan kaki dan berbalik pergi.
Kemarahan sahabatku itu ternyata hanya bertahan dua bulan saja. Perlahan-lahan persahabatan kami dengan Rida kami mulai membaik. Aku dan Togu mulai menjalin hubungan lebih terbuka di hadapannya. Semuanya berjalan lancar hingga hari wisuda tiba. Kami bertiga lulus serentak dengan nilai yang memuaskan.
Awalnya, kami mencoba melamar pekerjaan ke sejumlah perusahaan. Kebetulan Togu dan Rida langsung diterima bekerja sebagai marketing di sebuah bank swasta secara bersamaan. Sedangkan aku diterima bekerja sebagai seorang tenaga administrasi di perusahaan pembiayaan selang beberapa bulan kemudian.
Kala itu aku berpikir, walau kelak pertemuanku dengan Togu akan menurun karena lokasi kerja kami berjauhan, setidaknya ada sahabatku Rida yang selalu bersamanya. Apalagi, ia telah bersumpah padaku untuk mengawasi kesetiaan kekasihku itu. Aku hanya tertawa mendengar pernyataannya, walau dalam hati aku merasa tenang dan sangat bersyukur.
Awalnya komunikasi dan pertemuanku dengan Togu tak mengalami kendala yang berarti. Namun, frekuensinya mulai menurun drastis setahun kemudian. Jangankan untuk menjemputku sepulang kerja, menemuiku di rumah pun sudah jarang. Bila aku menelepon, ponsel-nya sering tak diangkat. Bila aku mengirim pesan, sering tak dibalas. Hal ini terkadang membuatku senewen.
Sejak Rida diterima bekerja, aku tinggal sendiri di rumah kontrakan. Ia telah pindah kost ke daerah yang lebih dekat dengan kantornya. Karenanya, aku hanya dapat menanyakan kabar Togu via telepon saja. Setiap kutanya, Rida selalu mengatakan bahwa sebagai seorang staf marketing, Togu sangat sibuk. Sedikitpun aku tak menaruh rasa curiga. Segalanya masih terasa wajar.
Tragedi itu terjadi di ulang tahun Togu yang ke dua puluh tiga. Sejak pagi aku sudah gelisah karena tak bisa menghubunginya sekedar mengucapkan selamat. Padahal, bingkisan kado berpita merah telah kusiapkan sejak seminggu lalu. Sebuah kemeja batik Solo berwarna biru kesukaannya pasti akan membuatnya gembira. Harganya memang cukup mahal untuk ukuran kantungku. Namun, permukaan kainnya yang halus dan dihiasi corak yang indah ̶ sudah membuatku jatuh hati saat pertama melihatnya. Apalagi, selama ini Togu juga sering memberiku hadiah. Karena ia tak kunjung bisa dihubungi, aku memutuskan untuk mengantarkan kado itu ke rumahnya sepulang dari kantor.
Sesampainya di sana ibunya mengatakan bahwa putra sulungnya belum pulang. Aku memutuskan untuk menunggu. Bahkan, aku sempat membantu ibunya menyiapkan makan malam. Keluarganya memang sudah cukup familiar denganku. Jam demi jam berlalu, Togu tak kunjung pulang. Ibunya sampai minta maaf karena aku harus menunggu terlalu lama.
Malam sudah menginjak tepat pukul sebelas saat aku berpamit pulang dengan hati galau. Baru saja aku keluar dari gerbang pagar, orang yang kutunggu-tunggu tiba. Aku segera turun dari motor dan mengetuk jendela mobilnya dengan perasaan campur aduk. Namun ketika jendela itu telah turun sepenuhnya, ternyata…
“Rida…” desisku terperanjat melihat sahabatku berada dalam mobil Togu. Apakah mereka berdua baru saja merayakan ulang tahun bersama? Pikiranku dipenuhi sejuta pertanyaan.
Keduanya tak kalah terkejut melihat kehadiranku. Raut wajah mereka pucat pasi. Sebenarnya, aku tak ingin mendengar penjelasan apapun dari mereka berdua. Ekspresi mereka sudah cukup menceritakan segalanya. Hanya saja, aku merasa perlu mendengarkan apa sebenarnya yang telah terjadi.
“Kalian berdua turunlah… Kita perlu bicara,” pintaku. Kutegarkan hati untuk mendengar apa saja yang mungkin akan kudengarkan.
Mereka berdua turun dengan kecanggungan yang begitu kentara. Rida sahabatku ̶ tertunduk menatap jalan. Ketegasannya menguap terbang entah kemana. Di mataku ia mendadak berubah menjadi orang asing.
“Bisa kalian jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku getir.
“Tak ada apa-apa. Kami baru saja pulang dari rumah calon nasabah…”
Lelaki itu berusaha memegang lenganku, namun aku menepisnya.
“Katakan padaku, Da,” desakku marah. “Aku hanya ingin mendengar kejujuranmu,” lanjutku menuntut kepastian.
Sebuah kekuatan entah darimana membuatku berani berkata demikian padanya. Saat ini aku hanya ingin mendengar kebenaran ̶ apapun itu.
“Ma-af…” Tangis Rida akhirnya pecah. Ia terisak di samping Togu yang kebingungan antara menghadapi kemarahanku atau menenangkan tangisan Rida.
Perutku terasa mual melihat tangisan itu. Aku harus segera menuntaskan kekacauan ini.
“Sejak kapan?” tanyaku tawar.
Mereka berdua hanya terdiam beberapa saat. Kurasa aku sudah tahu jawabannya atau mungkin saja aku merasa sudah tak perlu lagi jawaban. Tiba-tiba saja aku teringat ekspresi Rida ketika dulu aku dan Togu memberitahukannya tentang hubungan kami. Kepalaku mendadak pusing. Aku merasa sangat lelah...
“Kurasa aku sudah tahu jawabannya. Terimakasih atas persahabatan kita selama ini…” Kutatap nanar sahabatku karibku dan sahabat sekaligus kekasihku itu bergantian.
Sesaat mereka kehilangan kata. Sebelum akhirnya Rida berucap lirih, “ma-af… Sebenarnya sejak lama aku menyukai Togu...”
Hatiku teriris. Ternyata benar apa yang baru saja kupikirkan. Seharusnya aku lebih peka saat itu. Tanganku bergetar, kado di genggamanku meluncur ke aspal jalan. Tergeletak begitu saja kehilangan makna.
“Selamat ulang tahun, Gu… Aku datang hanya untuk itu...” bisikku lirih. Air mata yang menggelayut berat di pelupuk mata kutahan kuat-kuat agar tak jatuh. Aku tak ingin menangis di depan kedua orang yang telah mengkhianatiku ini. Tak akan.
“Terimakasih. Maafkan aku, Dum… Aku juga tak bermaksud semua akan berakhir seperti ini…” Pengakuan itu akhirnya keluar juga dari bibir laki-laki yang dulu pernah mengucapkan sebuah cinta bagiku itu.
Malam itu, aku melangkahkan kaki meninggalkan mereka berdua dengan hati hancur. Kehilangan dua orang sahabat sekaligus seorang kekasih dalam satu malam sungguh tak kuduga terjadi. Berjuta kata maaf yang terucap tak mampu mengusap perih di rongga dada. Mungkin lebih baik bila aku tak usah melihat mereka lagi.
Pagi tadi aku telah mengambil keputusan paling berani seumur hidupku. Mengajukan resign dari kantorku bekerja. Menghindari rutinitas pekerjaan hingga berangsur pulih. Bepergian menghirup udara segar mungkin baik bagiku. Sesuatu yang akhir-akhir ini ingin kulakukan, namun selalu terkendala waktu dan kesibukan. Kantor tempatku bekerja memang tidak mengizinkan untuk mengambil cuti terlalu lama. Ibu Widya ̶ kepala divisi HRD ̶ memahami sepenuhnya keputusanku.
Mama tak menyukaiku pilihanku untuk berhenti dari pekerjaan ketika kuhubungi via telepon. Ia menasihatiku panjang lebar. Susah payah aku menjelaskan padanya ̶ masih banyak kesempatan untuk meniti karir baru di usiaku ini. Sengaja aku tak menceritakan kandasnya jalinan asmara dan hubungan persahabatanku karena tak ingin membuatnya khawatir.
Lamunanku buyar ketika lagu terakhir berhenti mengalun dari DVD player. Aku beranjak menuju wastafel lalu membilas wajah, mengusir kantuk dan penat. Tak sengaja percikan air turut membasahi rambut pendekku yang bergelombang. Bayangan di cermin memantulkan wajah oval berkulit kuning langsat. Hidung mancung nan mungil bertengger di bawah sepasang mata lebar berbulu lentik. Wajah yang membuatku sering disangka lebih muda dibandingkan usiaku yang sudah menginjak angka dua tiga.
Sejujurnya, aku belum tahu pasti kemana aku akan pergi. Kubuka notebook yang terletak di atas meja untuk mencari informasi dari internet. Aku belum pernah bepergian kemanapun seorang diri. Kalau tidak bersama mama, paling-paling aku pergi bersama sahabat kecilku. Ah… sepintas mengingat namanya saja membuatku hatiku muak.
Situs demi situs kukunjungi dengan cermat. Tempat indah yang tidak terlalu jauh dari Kota Medan menjadi pilihanku untuk berlibur. Barangkali bisa merekatkan kembali kepingan hatiku yang terserak. Tiba-tiba saja keindahan Pulau Samosir terlintas dalam pikiranku. Pernah suatu kali aku mengunjungi pulau itu bersama mama, namun kami hanya menginap di Tuktuk sebentar saja. Padahal, aku mendengar bahwa di pulau itu banyak sekali objek wisata alam dan budaya yang menarik untuk dikunjungi.
Segera kucari situs yang menyajikan keindahan pulau itu. Benar saja, aku segera terpikat melihat beberapa lokasi objek wisata yang tersaji disana. Sebersit kegugupan berbaur keriangan terbit dalam hatiku. Akhirnya, aku akan memulai perjalanan pertamaku seorang diri. Samosir, I’m coming…
***
Samosir, 5 Mei '14 (Tepian DanauMu)
bersambung ke kisah 2...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI