Sebutir apel ranum yang berada di antara deretan apel merah segar di gerobak buah waktu itu takkan kulupakan. Sungguh menggiurkan dan membuat air liurku nyaris menetes. Jaraknya begitu dekat. Ketika aku berusaha menggapainya dari jendela bus yang akan meninggalkan terminal, ibu spontan menjerit untuk menghentikan supir bus.
“Kau bisa kehilangan tanganmu!" bentak ibu sambil menahan tangan mungilku.
Aku terdiam. Kemarahan di wajah ibu membuatku ingin menangis. Aku tak berniat membuatnya marah. Aku menginginkan apel itu. Cuma itu.
“Tunggu sebentar.” Ibu meminta supir bus menunda keberangkatannya. Penumpang lain menggerutu. “Kau benar-benar menginginkan apel itu?” tanya ibu padaku.
Aku menggangguk kuat-kuat.
Ibu berseru pada abang penjual buah. “Bang, apelnya berapa?”
Penjual buah menyerukan harga sekilo apel. Ibuku menawar. Tak berlama-lama, karena ia hanya membeli sebutir saja.
“Tolong berikan saya yang itu.” Ibu menunjuk apel yang paling ranum. Itu apel yang kuinginkan. Abang penjual buah memberikannya dengan sigap.
Supir memencet klakson, berteriak agar ibu bergegas. Sambil bersungut-sungut, ibu mengambil uang dari dompetnya lalu menyodorkannya pada abang penjual buah. Ibu memberikan apel itu padaku setelah menyekanya dengan ujung baju. “Makanlah,” suruhnya lembut.
Sepasang mataku berbinar. Ibu tak marah lagi padaku. “Terima kasih, Bu.” Kugigit apel itu penuh sukacita. Manis dan segar. Bus melaju meninggalkan terminal. Sepanjang perjalanan, sedikit demi sedikit apel kugigit hingga tak bersisa.
***