Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rhein and Tears

26 September 2014   07:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:29 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14116646201459211244

[caption id="attachment_361747" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber Foto: bali-network.blogspot.com"][/caption]

“Hingga maut memisahkan…” bisikmu.

“Selamanya?”

“Selamanya…”

Kecupan hangat menjejak halus di keningku. Tetesan bening merembes turun dari sudut kelopak mata. Haru menyergap seluruh jiwa. Sosok hangat di hadapanku telah berikrar akan selalu bersama selamanya.

Kususupkan jemariku dalam jemari kokohmu. Hatiku dan hatimu bertaut. Sorot mata mematri janji. Selamanya takkan terbagi. Kita… saling memiliki.

***

“Rhein, aku berangkat ya…” katamu suatu pagi.

“Hati-hati… pulangnya jangan malam-malam,” sahutku manja.

“Mana ada suami yang suka pulang malam-malam kalau punya istri kayak bidadari.” Tawamu terdengar renyah pagi itu.

Aku pura-pura cemberut. “Bidadari bau bumbu dapur!”

“Tapi ini tangan bidadari yang meracik makanan enak yang bikin perutku buncit dalam sebulan,” godamu mengajuk lalu menggengam tanganku.

Aku terkekeh senang. Kamu selalu membuatku tertawa. Dalam situasi apapun. Kapanpun. Itulah dirimu, penjaga hatiku.

“Pergi sana, jangan suka lirik-lirik ya…”

Sebuah kecupan kecil mendarat di keningku. Lalu langkah-langkah sigapmu bergegas menuju jalan raya. Menunggu angkutan umum yang akan melintas. Gajimu sebagai pegawai kecil mengharuskan kita hidup sederhana. Tapi… bahagia dalam batin.

***

“Rhein…aku dipromosikan!”

Tibamu sore itu membawa kabar mengejutkan. Sontak kita bergembira. Kamu menggendongku berputar-putar mengelilingi rumah kontrakan kita. Tak sampai letih, memang. Karena rumah kontrakan kita hanya berukuran enam kali delapan meter saja. Kita tertawa-tawa bagai orang gila. Tetangga kanan-kiri melongok. Setelah tahu perkara, mereka tertawa geli saja.

“Mau kubelikan apa?” tanyamu berbinar.

Hmmm… apa ya?”

Kucoba mengingat-ingat apa yang hendak kubeli. Ah…ya, aku pernah melihat cincin emas di sebuah etalase toko. Bukan emas murni. Tapi permata imitasinya ungu berkilauan. Warna kesukaanku sejak masih kanak-kanak.

“Boleh minta dibelikan cincin?”

Kamu tersenyum senang. “Boleh, dong! Gajiku bulan depan ‘kan naik. Kita beli cincin untukmu.”

Kupeluk tubuhmu kegirangan. Malam bergulir turun setelah menyaksikan kita. Bahagia… dalam hati kita.

***

“Rhein…” wajahmu terlihat pasi pagi itu. Tak bersemangat. Membuatku cemas dan bertanya-tanya.

“Kamu kurang sehat?”

“Hanya sedikit pikiran. Pekerjaanku sedang sibuk di kantor,” ucapmu sambil tersenyum datar.

“Bagaimana kalau hari ini izin dulu. Jangan memaksakan diri.”

“Sudahlah, tak apa-apa. Kamu nggak usah khawatir, Sayang. Aku pergi dulu…”

Kulepaskan kepergianmu penuh rasa cemas. Pagi itu langkahmu tak sigap seperti biasanya. Hampir saja aku berteriak menyuruhmu pulang kembali. Tapi sesuatu menahanku. Hingga tubuhmu naik ke dalam angkutan umum. Sesaat setelah menutup pintu, aku menyadari sesuatu. Pagi itu… tak ada yang mendarat di keningku.

***

Rhein

Aku terjaga dari tidur. Astaga, hari sudah beranjak gelap. Tak sengaja aku tertidur di kursi ruang tamu. Seolah kamu membangunkanku. Ternyata rumah ini masih sepi. Hanya ada aku.

Ponselku berdering di atas meja. Sederet nomor asing tertera di layarnya.

“Halo…”

“Maaf, dengan istri Pak Richard?” tanya suara di seberang sana.

Jantungku seakan berhenti berdetak. Suamiku memang menyimpan nomorku di ponselnya dengan nama ‘istriku’. “ Ya…saya sendiri.”

“Maaf, mbak. Suami mbak kecelakaan. Sekarang berada di rumah sakit dan koma…”

Selanjutnya hanya nama rumah sakit yang masih bisa kudengar. Bergegas aku menghambur. Menemui belahan hati yang sedang bertarung dengan maut. Turut berjuang… di sisimu.

***

Rhein…

Tak ada lagi yang memanggil namaku demikian. Meski hatiku menjerit memintanya.  Meski aku merindukanmu, hingga nyaris kehilangan akal.

Seratus hari menatapmu terbaring. Dengan selang-selang mengaliri pembuluh darahmu. Tetesan-tetesan bening saat mendengar ikrarmu, kini telah berganti makna. Pedih menyayatku. Melihatmu tak berdaya, tanpa aku mampu berbuat apa-apa.

“Richard… kapan memanggil namaku lagi?” bisikku tepat di telingamu. Hari ini tepat dua tahun─ sejak kamu menjaga hatiku.

Kamu tersenyum dalam khayalku. Meraihku lalu mendaratkan sesuatu yang kurindu di keningku. Memandangku, lalu menyeka tetesan bening yang jatuh di lenganmu.

“Richard… aku akan terus memanggilmu. Takkan kubiarkan maut memisahkan kita semudah itu. Berjanjilah padaku.”

Kamu mengangguk dalam benakku. Richard, aku akan selalu di sini. Menjadi penjaga setiamu. Cintaku takkan berlalu… untuk selamanya.

***

Samosir, 25 September ’14 (Tepian DanauMu)

***

Selamat Menempuh Hidup Baru Bagi Kompasioner Mas Wahyu dan Lin Halimah

Semoga Bahagia Mengarungi Bahtera Kehidupan Selamanya…

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun